Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam artikel tersebut bahwa dulunya desa Pakraman Bukti merupakan “sarang pelacuran” dan salah satu desa dengan tingkat kemiskinan terparah di Buleleng. Awalnya penduduk desa Pakraman Bukti berjuang memberantas stigma negatif yang telah melekat terhadap desanya, yaitu sebagai “sarang pelacuran”. Sebelum adanya pemberantasan “sarang pelacuran” tersebut, penduduk setempat merasa sangat malu dengan identitasnya sebagai masyarakat Pakraman Bukti. Perjuangan tersebut sangatlah berat, mulai dari pendekatan personal, yang tak sepenuhnya berhasil, hingga mengadakan paruman desa yang menghasilkan bentuk awig-awig yang baru.
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19)
Contoh di atas, yang terjadi pada masyarakat desa Pakraman Bukti, memperlihatkan kepada kita bahwa terjadinya perubahan sosial (social changes), dari masyarakat yang dulunya masih menganut nilai-nilai kepercayaan yang terinternalisasi kepada setiap individu di dalamnya menjadi masyarakat yang tidak lagi taat pada nilai-nilai tersebut. Yang pada akhirnya masyarakat adat desa Pakraman Bukti berupaya untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut agar dapat menjaga sistem kultural yang telah ada secara turun temurun dan wajib ditaati oleh setiap masyarakatnya.
Menurut Larson dan Rogers, dalam melihat perubahan sosial, merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam suatu bentangan waktu dan berkaitan dengan adopsi teknologi. Mereka melihat ada tiga tahapan utama dalam proses perubahan sosial. Pertama, berawal dari diciptakannya atau lairnya sesuatu, misalnya cita-cita atau kebutuhan, yang berkembang menjadi gagasan (idea, concept) yang baru. Bila gagasan itu sudah menggelinding seperti roda berputar pada sumbunya dan tersebar di masyarakat. Proses itu pun sudah mulai memasuki tahapan kedua. Tahapan ketiga disebut hasil (results, concequences) yang merupakan perubahan yang terjadi dalam suatu sistem sosial akibat diterima atau ditolaknya suatu inovasi. Perubahan sosial dapat meliputi perubahan sikap, pengalaman, persepsi masyarakat, dan bahkan merupakan refleksi dari perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat[1].
Secara berbeda, Selo Soemardjan (1964) cenderung melihat perubahan sosial sebagai proses yang berkembang dari pranata-pranata sosial. perubahan tersebut akan memengaruhi sistem sosial, adat, sikap, dan pola perilaku dalam masyarakat. Jika perubahannya besar, akan membawa pada kehidupan sosial dan ekonomi baru di masyarakat[2]. Dapat dicontohkan, pengaruh westernisasi dan modernisasi mempengaruhi perubahan persepsi, sikap dan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia, pada umumnya. Masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap nilai-nilai dari kebudayaan barat adalah suatu yang bersifat modern dan masa kini. Dapat dilihat dari cara berpakaian, mengenakan celana dan jaket jeans, cara berinteraksi, mulai menggunakan istilah-istilah asing, dan cara berperilaku masyarakat Indonesia, mulai tidak mengenal batasan umur dalam berperilaku. Contoh tersebut hanya berupa gambaran umum perubahan-perubahan kultur yang terjadi di Indonesia, masih sangat banyak contoh kasus yang lainnya.
Perubahan sosial merupakan suatu gejala yang wajar (natural) yang timbul sebagai buah dari pergaulan hidup manusia. Sama halnya dengan yang terjadi di desa Pakraman Bukti di Bali. Pada awalnya masyarakat desa Pakraman Bukti merupakan suatu desa adat yang sangat taat terhadap nilai-nilai yang telah mereka anut secara turun-temurun. Mereka selalu mengerjakan ibadah di pura-pura dengan penuh keyakinan. Ibadah yang mereka lakukan merupakan simbol bahwasanya mereka ingin menunjukkan rasa terima kasih kepada Tuhan terhadap daerah Pakraman Bukti yang merupakan salah satu daerah pariwisata yang dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing.
Seiring dengan berjalannya dengan semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke Bali membuat perubahan kultural bagi masyarakat setempat, yang dulunya mematuhi dan taat kepada nilai-nilai yang ada kini ketaatan dan kepatuhannya sudah agak berkurang. Akibat memudarnya nilai-nilai yang mereka anut sebelumnya, perubahan sosial yang sangat terlihat pada masyarakat Bali pada umumnya adalah semakin banyaknya tempat-tempat hiburan yang digunakan sebagai tempat “pemuas nafsu” bagi para pria hidung belang, tak terkecuali di desa Pakraman Bukti. Merambahnya industri “bordil” di Bali menunjukkan bahwa masyarakat Bali telah mengalami perubahan sosial, baik itu struktural maupun kultural.
Desa Pakraman Bukti sebagai wujud nyata terjadinya perubahan tersebut. Di dalam artikel yang diterbitkan oleh Balipost, Senin, 31 Desember 2007, menjelaskan bahwa warga desa Pakraman Bukti merasa malu menyebutkan identitas aslinya, sebagai masyarakat Pakraman Bukti. Karena, desa itu dulunya dikenal sebagai desa yang memiliki banyak pondok kecil di pinggir jalan atau di tengah kebun yang menyediakan wanita-wanita pemuas nafsu lelaku. Selain itu, keberadaan “pondok prostitusi” membuat warga lain merasa terganggu. Karena, para lelaki hidung belang masih berseliweran dengan suara motor yang cukup keras dan juga keributan antar pemuda yang dipicu oleh minuman keras.
Dari kedua peristiwa di atas, maka muncullah cultural conflict, konflik kebudayaan yang menyebar ke berbagai tatanan sosial di pedasaan yang terjadi akibat relatifnya budaya dan canggihnya teknologi komunikasi[3]. Namun, dalam peristiwa di atas cultural conflict lebih cenderung terjadi akibat relativitas budaya dari masyarakat Pakraman Bukti. Relativitas budaya merupakan suatu paham bahwa setiap individu dalam memahami kebudayaan lain harus dibekali dengan sikap keterbukaan dan toleransi. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat desa Pakraman Bukti tidak mampu menghalau cepatnya proses westernisasi, yang berasal dari turis-turis asing, yang mengakibatkan masyarakat desa Pakraman Bukti tidak memiliki suatu pegangan nilai yang kuat, atau mengalami suatu keadaan yang anomie. Di dalam keadaan yang tidak memiliki suatu pegangan nilai yang kuat, masyarakat desa Pakraman Bukti pun terbawa oleh nilai-nilai dari kultur masyarakat barat.
Menanggapi perubahan sosial yang cenderung negatif yang terjadi di desa, beberapa pejabat desa adat mulai memikirkan cara untuk memberantas “sarang pelacuran” tersebut. Pejabat desa adat mendapatkan cara memberantas sarang pelacuran dengan menuangkan peraturan-peraturan baru di dalam awig-awig, merevisi awig-awig sebelumnya dengan tujuan untuk melengkapi peraturan-peraturan yang belum ada. Peraturan tersebut berisi, jika seorang warga setempat membawa orang dari luar selama 2 x 24 jam maka warga desa yang mengajak dan diajak wajib melapor ke klien desa pakraman. Jika tidak melapor dan kepergok maka yang bersangkutan harus membayar denda Rp. 100.000,-. Jika yang bersangkutan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya maka dendanya lebih banyak lagi, yakni Rp. 250.000,-. Dan, jika warga mengulangi kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya, sanksinya bukan lagi berupa uang, namun lebih berat lagi. Warga tersebut akan kasepekang (dikucilkan). Jika kesalahan untuk keempat kalinya, maka warga itu dikenai sanksi karonaya (diusir) dari desa. Penerapan peraturan baru tersebut awalnya cukup sulit. Namun dengan didukung oleh warga pakraman yang lain, maka peraturan itu bisa diterapkan sehingga prostitusi bisa diberantas dan tidak bisa tumbuh lagi di desa itu.
Dengan diterapkannya awig-awig baru di dalam sistem kultural masyarakat desa Pakraman Bukti memperlihatkan bahwa terjadinya perubahan sosial dalam dimensi kultural yang lebih bersifat integratif. Sebagaimana dengan pengertian integrasi itu sendiri, yaitu perubahan sosial yang ditandai dengan adanya penolakan terhadap bentuk-bentuk baru, duplukasi, cara hidup lama dan baru bersama-sama dalam variabel pola-pola, penggantian dan modifikasi bentuk-bentuk lama dengan bentuk-bentuk baru[4].
Perubahan sosial yang terjadi di desa Pakraman Bukti, setelah adanya awig-awig mengenai prostitusi, dapat dijelaskan melalui pendekatan perubahan sosial yang dikemukakan oleh Selo Soemardjan yang cenderung melihat perubahan sosial sebagai proses yang berkembang dari pranata-pranata sosial. Perubahan tersebut akan mempengaruhi sistem sosial, adat, sikap, dan pola perilaku dalam masyarakat.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, awig-awig merupakan peraturan yang mengikat setiap warga dari suatu desa adat. Setiap orang wajib mengikuti peraturan-peraturan yang ada di dalam awig-awig. Jika terdapat warganya yang tidak mematuhi peraturan tersebut, maka ia akan mendapatkan sanksi adat sesuai dengan yang terdapat di dalam awig-awig. Sama halnya seperti awig-awig yang mengatur tentang prostitusi yang terjadi di masyarakat desa Pakraman Bukti. Awig-awig tersebut menyerukan kepada setiap warganya agar tidak menjalankan praktik prostitusi. Karena, praktik prostitusi yang terjadi di desa Pakraman Bukti merupakan aib bagi keseluruhan warga. Wajar bila pemuka-pemuka adat desa membuat awig-awig baru agar menjaga sistem kultural yang ada di desa yang sesuai dengan yang ada sebelumnya. Dengan harapan, awig-awig tersebut mampu mengitegrasikan setiap warganya menjadi warga desa Pakraman Bukti yang lebih baik daripada sebelumnya.
thank's min...
BalasHapusterima kasih
BalasHapusizin copy ya
BalasHapus