Jumat, 21 Oktober 2011

Adat dan Agama Minangkabau - Sosiologi Agama


I.Upacara Semasa Remaja
            Upacara semasa remaja adalah serangkaian upacara-upacara yang ditujukan kepada anak yang sudah beranjak dewasa. Biasanya, upacara-upacara yang dilakukan ini bertujuan agar para remaja memiliki pegangan, ilmu dan agama, jika ia hendak pergi merantau. Upacara semasa remaja sangat diutamakan bagi anak laki-laki, karena anak laki-laki merupakan salah satu anggota keluarga yang paling banyak merantau. Upacara semasa remaja dapat dibedakan sebagai berikut[1]:
a.       Manjalang guru (menemui guru)
Manjalang guru (menemui guru) adalah kewajiban orang tua untuk mengantarkan anaknya menemui guru untuk menuntut ilmu, baik itu di bidang agama maupun adat. Anak atau keponakannya diserahkan untuk dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan yang diinginkan. Biasanya sebelum anak resmi diserahkan dan dititip di kediaman guru, anak akan melakukan balimau. Balimau adalah kegiatan mandi yang dibimbing oleh guru sebagai lambang bahwa anak didiknya dibersihkan lahirnya terlebih dahulu kemudian diisi batinnya dengan ilmu pengetahuan.
b.      Batutue (bertutur)
Batutue (bertutur) adalah anak didik mendapatkan pengetahuan dengan cara guru bercerita. Di dalam cerita terdapat pengajaran adat dan agama, mengaji adat istiadat. Di dalam pelajaran ini, anak didik mendapat pengetahuan yang berkaitan dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat.
c.       Mangaji halam jo haram (mengaji halal dan haram)
Mengaji halam jo haram (mengaji halal dan haram) adalah pengetahuan yang berkaitan dengan pengajaran agama. Mengaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah baso, yaitu pengajaran yang berkaitan dengan adat istiadat dan moral.
Adat merupakan hukum kebiasaan, aturan sopan santun (tata krama), kesusilaan, dan rasa kepatutan dalam masyarakat[2], sedangkan agama merupakan  sumber untuk menemukan asal, hakekat dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk merealisasikan diri dalam kehidupan, dan budaya adalah sarana untuk mendapatkan nilai kehidupan di dunia[3].
Dalam konteks agama dan adat di Minangkabau keduanya terlihat memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, simbiosis mutualisme. Bagi masyarakat Minangkabau, agama merupakan suatu pegangan dan panutan bagi masyarakat, sedangkan adat merupakan penguat sistem yang ada di dalam agama. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, agama yang dianut adalah Islam. Tak heran jika orang Minang memiliki slogan, ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’, adat bersandar syara’, syara’ bersandar kitabullah (Al-Quran).
            Di dalam Islam, merupakan suatu kewajiban bagi setiap penganutnya untuk menuntut ilmu. Di dalam Islam sendiri, ilmu adalah pengetahuan yang tersebar di seluruh alam semesta yang mana setiap umat Islam wajib mencari pemahamannya sendiri untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Kewajiban umat Islam untuk menuntut ilmu pun tertuang di dalam peribahasa, yaitu ‘uthlabul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi’, tuntutlah ilmu dari mulai dalam buaian hingga ke dalam liang lahad.
            Kewajiban menuntut ilmu pun juga tertuang di dalam adat masyarakat Minangkabau, yaitu mengadakan upacara semasa remaja yang bertujuan agar remaja memiliki pegangan ilmu, baik itu ilmu agama dan adat. Tujuan para remaja menuntut ilmu adalah agar mereka memiliki pegangan hidup, yaitu ilmu agama dan adat, agar mereka memiliki ilmu ketika mereka berada di perantauan.
II.Upacara Kematian
            Upacara kematian di dalam adat Minangkabau adalah suatu persembahan terakhir kepada orang yang meninggal. Upacara kematian tidak hanya menjadi adat di dalam adat Minangkabau melainkan juga kewajiban bagi seluruh umat Muslim di dunia. Upacara kematian dapat dibedakan sebagai berikut[4]:
  1. Memandikan jenazah
Memandikan jenazah adalah kegiatan yang melambangkan agar jenazah bersih dari segala hadas, kotoran, dan dosa-dosa yang dilakukan semasa jenazah hidup.
  1. Menyolatkan jenazah
Adalah persembahan shalat terakhir bagi jenazah yang dilakukan secara berjamaah. Shalat terakhir ini ditujukan kepada jenazah sebagai wujud kegiatan keagamaan terakhir bagi jenazah.
  1. Mengantarkan jenazah ke liang lahat
Ritual ini sama halnya dengan memakamkan jenazah ke dalam liang lahat, dan disaksikan oleh orang-orang yang mengantarkannya. Ritual ini juga ditujukan kepada orang-orang yang menyaksikan prosesi memakamkan jenazah agar yang menyaksikan selalu mengingat kematian.
  1. Ta’ziah
Pergi melayat (ta’ziah) ke rumah orang yang meninggal merupakan adat bagi orang Minangkabau. Tidak hanya karena dianjurkan ajaran Islam, tapi juga karena hubungan kemasyarakatan yang sangat akrab membuat mereka malu bila tidak datang melayat.
  1. Peringatan
Selanjutnya ada pula acara peringatan, seperti peringatan tujuh hati (manujuah hari), peringatan duo puluah satu hari, peringatan hari ke-40, lalu peringatan pada hari yang ke-100 (manyaratuih hari)[5].
Slogan ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’, adat bersandar syara’, syara’ bersandar kitabullah (Al-Quran), selalu menjadi pegangan jika kita berbicara mengenai adat dan agama pada masyarakat Minang. Adat dan agama seakan tidak dapat terpisahkan bagi sebagian besar masyarakat Minang, karena keseharian perilaku yang dilakukan oleh masyarakat Minang pada umumnya sangat berkaitan dengan agama Islam pula.
Menurut Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma, ritus, dan seremoni[6]. Selanjutnya Durkheim juga menambahkan bahwa agama merupakan institusi yang menjaga integrasi dan solidaritas sosial, melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga merupakan wujud dari religious effervescence, ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya.
Dengan menggunakan konsep religious effervescence yang dikemukakan oleh Durkheim, terlihat bahwa masyarakat Minang menciptakan ritual upacara kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Ritual upacara bagi orang yang telah meninggal dunia merupakan wujud persembahan orang-orang yang sedang hidup kepada orang yang telah meninggal dunia. Prosesi upacara kematian dapat terlihat dari beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas. Selanjutnya, dengan adanya ritual yang sengaja diciptakan tersebut, upacara kematian, maka muncul collective counciousness, kesadaran kolektif, kepada setiap masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Collective counciousness dalam prosesi upacara kematian dapat terlihat ketika pertama kali mayat dimandikan. lalu kesadaran kolektif tersebut semakin terlihat ketika memasuki prosesi dishalatkannya jenazah, menggotong jenazah hingga menguburkannya, menyaksikan penguburan jenazah, ta’ziah, serta peringatan yang diulang di hari ke 40, hari ke 100.
Daftar Referensi:
BUKU:
-          Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu
-          Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
-          Prof. Dr. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cetakan ke 20, 2004, Jakarta: Djambatan
Internet:
-          http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/2-upacara-adat.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.52
-          http://ukm.itb.ac.id/adat-budaya/upacara-upacara-adat-minangkabau/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.46


[1] http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/2-upacara-adat.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.52
[2] Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[3] Ibid, bahan MK Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[4] http://ukm.itb.ac.id/adat-budaya/upacara-upacara-adat-minangkabau/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.46
[5] Namun, di dalam bukunya Prof. Dr. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, dikatakan bahwa dulunya peringatan bagi orang yang sudah meninggal diulang hingga hari ke-1000. Mungkin budaya 1000 hari tersebut telah terkikis seiring dengan berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat Minang.
[6] Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu, hal.73

Adat dan Agama Bali - Sosiologi Agama


Artikel I:
Upacara Ngaben
            Menurut kepercayaan umat Hindu Bali, upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan ketika seseorang meninggal dunia. Ketika manusia meninggal dunia, maka atma (roh) secara langsung terpisah dengan jasad atau badan. Badan manusia terdiri dari 3 wujud, yaitu badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakkan oleh atma (roh)[1].
            Upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, merupakan upacara penyucian atma (roh) saat meninggalkan badan kasar. Karena, dengan dilaksanakannya Ngaben orang yang sudah meninggal terbebas dari ikatan-ikatan duniawiah ketika menuju surga, atau justru hidup kembali ke dunia melalui reinkarnasi, suatu konsep yang menyatakan bahwa seseorang yang sudah mati akan dilahirkan kembali dalam kehidupan yang lain.
            Di dalam upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, terlihat adanya sebuah relasi atau hubungan antara adat dan agama. Menurut Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma, ritus, dan seremoni[2]. Selanjutnya Durkheim juga menambahkan bahwa agama merupakan institusi yang menjaga integrasi dan solidaritas sosial, melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga merupakan wujud dari religious effervescence, ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya. Sedangkan adat merupakan hukum kebiasaan, aturan sopan santun (tata krama), kesusilaan, dan rasa kepatutan dalam masyarakat[3].
Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadikan adat sebagai tata-cara pelaksanaan ajaran agama Hindu. Bagi sebagian besar masyarakat Hindu Bali, adat dan agama merupakan dua buah komponen yang berbeda tapi memiliki keterkaitan satu sama lain. Agama merupakan  sumber untuk menemukan asal, hakekat dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk merealisasikan diri dalam kehidupan, dan budaya adalah sarana untuk mendapatkan nilai kehidupan di dunia[4].
Upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, secara sosiologis dapat diartikan sebagai sebuah eksistensi nilai-nilai keimanan masyarakat Hindu Bali terhadap ke-Tuhanan. Merujuk pada konsep religious effervescence yang dikemukakan oleh Durkheim, yaitu sebuah ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya, Ngaben menjadi sebuah upacara adat untuk mempertemukan orang yang sudah meninggal dengan Sang Pencipta, yaitu Brahma. Brahma merupakan Tuhan yang suci. Untuk bertemu dengan Tuhan, maka setiap orang harus membersihkan dirinya terlebih dahulu. Proses pembersihan diri, untuk bertemu Tuhan, dinamakan oleh masyarakat Hindu Bali sebagai Ngaben, hingga sekarang menjadi suatu adat yang diwajibkan ketika seseorang meninggal dunia.
Di dalam proses pembakaran jenazah, Ngaben, terdapat sebuah kegiatan kolektif, yang digambarkan oleh Durkheim sebagai collective counciousness, yaitu kesadaran bersama. Ngaben seringkali menjadi kendala bagi masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Khusus untuk masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, mereka dapat melakukan Ngaben secara massal, atau bersamaan. Ngaben merupakan sebuah adat untuk pembersihan diri sebelum bertemu Brahma, masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi kelas bawah secara sadar timbul inisiatif untuk bergotong royong menanggung biaya, tenaga, sajen, serta prosesi lainnya secara bersamaan.
Adat dan agama merupakan dua komponen dengan berbagai dimensi yang berbeda di antara keduanya. Namun, adat dan agama memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut terwujud ketika para penganutnya melakukan ritual, mitos-mitos, dogma, dan ritus untuk menjaga seluruh penganutnya agar terhindar dari segala keburukan-keburukan yang dapat menjerumuskan penganutnya ke jalan yang salah. Karena, eksistensi dari agama dan adat adalah membawa penganutnya ke jalan yang benar.
Artikel II:
Upacara Bhuta Yadnya
            Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Di dalam agama terdapat dogma, ritus, mitos, dan ritual yang dipercayai oleh penganutnya sebagai ajaran untuk mendapatkan kebenaran. Penganut dari suatu agama akan senantiasa melakukan ritual-ritual tertentu sebagai wujud ketaatan dan kepatuhannya terhadap suruhan Tuhan.
            Bali, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu, khususnya Hindu Bali. Di dalam ajaran Hindu Bali terdapat berbagai macam ritual yang harus dilakukan oleh penganutnya sebagai umat yang taat kepada perintah Tuhan. Tak heran, jika hampir disetiap jalanan atau tempat banyak ditemui sajen yang sengaja ditaruh sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan.
            Kegiatan beragama umat Hindu Bali diperkuat dengan adanya sistem adat di dalam masyarakat Bali. Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah[5]. Sebagai contoh, umah Hindu Bali sering menggelar Upacara Bhuta Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala agar jangan mengganggu ketentraman manusia di dunia[6].
            Upacara Bhuta Yadnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Yaitu:
  1. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan kecil seperti segehan dan yang setingkat. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil/segehan. Dengan banten atau sesajen lauk pauknya yang sangat sederhana terdiri dari Bawang merah, Jahe, Garam dll. Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.
  2. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan sedang (madya) yang disebut caru. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang sedang/madya. Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan Caru . Pada tingkatan ini selain mempergunakan banten/sesajen lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis caru tersebut adalah Caru ayam berumbun (dengan satu ekor ayam), Caru panca sata (caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
  3. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar (utama). Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar/utama.Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali, atau Dharma Dan).
Secara sosiologis, upacara Bhuta Yadnya merupakan sebuah religious effervescence. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, religious effervescence merupakan ritual agama yang sengaja dibuat untuk penganutnya. Religious effervescence dikuatkan eksistensinya di dalam kehidupan masyarakat melalui sistem adat, seperti melakukan upacara Bhuta Yadnya sebagai pengorbanan/persembahan terhadap Butha, alam semesta ciptaan Hyang Widhi[7], yang dilakukan rutin sebelum mengadakan upacara adat yang lebih besar. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Hindu Bali mempercayai bahwa setiap orang yang ingin membuat upacara-upacara yang bersifat besar harus membuat upacara kecil terlebih dahulu sebagai wujud terima kasih kepada Butha agar Butha senantiasa menjaga ketentraman dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan.

Bahan referensi:
1.      Buku
Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu
2.      Referensi lainnya
-          http://info.indotoplist.com/?YldWdWRUMWtaWFJoYVd3bWFXNW1iMTlwWkQweU5UST0=a, diunduh pada tanggal 1 Oktober, pukul 21:55
-          http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-bhuta-yadnya, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2011, pukul 22:06
-          Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
-          Catatan Mata Kuliah Teori Sosiologi II


[2] Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu, hal.73
[3] Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[4] Ibid, bahan MK Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[5] Catatan MK Sosiologi Agama pada tanggal 28 September 2011
[6] http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-bhuta-yadnya, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2011, pukul 22:06
[7] http://stitidharma.org/upacara-bhuta-yadnya/, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2011, pukul 21:46

Hak dan Kewajiban Warga Negara


Warga negara, politik dan hak-hak sosial yang dibuat oleh elemen-elemen yang berbeda dari hak dan kewahiban warga di zaman modern telah menjadi ‘urutan cerita luka’, atau ‘wound into a single thread’, di bawah konstitusi feodal. Percampuran hak-hak kaum feodal merefleksikan kohabitasi di dalam masyarakat dan fungsi politik di dalam institusi yang bersifat feodal (Marshall, 1950:72). Dari pemaparan yang dijelaskan oleh Marshall, di zaman yang bersifat feodal seperti saat ini hak-hak warga negara, politik dan hak sosial lainnya tidak lagi dipertahankan oleh negara. Kini negara hanya menjadi ‘watchdog’, pengamat, di negeri nya sendiri. Mengapa hal tersebut terjadi? Karena, banyak dari kaum feodal masuk ke dalam sistem negara. Sistem negara yang seharusnya berpihak kepada orang banyak, justru terdapat konflik kepentingan antar kelompok berkuasa di dalamnya.
i.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai warga negara, alangkah baiknya kita memahami pengertiannya terlebih dahulu. Warga negara dapat dikarakteristikkan sebagai seperangkat status dan hak. Pertemuan antara status dan hak tidaklah terjadi secara kebetulan. Pertemuan tersebut akan terlihat ketika terjadi kepentingan politik yang diperoleh dari status secara sosial.
Dalam hal yang paling umum hak merupakan sesuatu yang sangat penting, karena mereka melekat di dalam diri seseorang baik itu secara legal maupun status ‘conventional’. Karenanya, seseorang seharusnya memiliki kapabilitas maupun kesempatan di dalam beraksi – kekuatan – sebagai konsekuesi dari status yang mereka miliki. Status seseorang menunjukkan apa yang dapat dilakukannya, dan kemampuan apa yang dimilikinya.
Status yang dimiliki oleh seseorang sangat berpengaruh di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa setiap orang memiliki status, baik itu yang disahkan secara legal, maupun secara kharismatik. Dalam berinteraksi dengan sesama, orang akan terlebih dahulu melihat dengan siapa dia berinteraksi, topik apa yang harus dibicarakan dengan orang yang memiliki karakteristik tertentu, sikap yang bagaimana yang harus ditunjukkan saat berhadapan dengan seseorang, dan beberapa contoh lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu, sebelum melakukan interaksi dengan yang lainnya, akan melihat status yang dimiliki oleh ‘lawan’nya terlebih dahulu.
Hal ini juga terjadi di dalam sistem hukum. Status yang dimiliki seseorang juga menentukan konsekuensi apa yang akan didapatkannya di dalam sistem hukum, atau bahkan memanipulasi hukum. Sistem hukum sering dimanipulasi oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas status yang lebih tinggi, sehingga status mereka sangat berpengaruh di dalam hukum. Suatu hal yang memang sangat menarik di dalam kacamata dunia, dimana orang yang memiliki status tinggi dapat mengatur sistem hukum yang telah ditetapkan oleh hukum legal. Ini merupakan salah satu contoh konkrit dari fenomena sosial yang melihat aspek status di dalam hukum legal.
Status, ditekankan kepada fakta yang merupakan ekspektasi (sesuatu yang bersifat nofmatif) yang ada di dalam kelompok sosial (Marshall, 1954: 203). Tindakan sosial seseorang dapat ditentukan oleh status yang mereka miliki, apa yang boleh mereka kerjakan dan apa yang tidak boleh mereka kerjakan. Ekspektasi normatif dari status tidak hanya bertahan tetapi juga sebagai ‘cermin’ dari hak dan kapasitas yang terlekat di dalam diri seseorang.  Yang dimaksud dengan ‘cermin’ disini adalah status yang dimiliki dapat menentukan perilaku apa yang dapat ia lakukan, sama halnya dengan perilaku yang akan dilakukan oleh seseorang harus ditentukan dengan status yang ia miliki pula.
Hak dapat diartikan sebagai batasan – batasan alamiah dari aturan sosial. Marshall (1950:111) menambahkan bahwa hak adalah ketetapan – ketetapan minimal dari kemampuan dan pemberian hak secara sosial.
ii
            Bryan Turner (1986: 11, 100), percaya bahwa hukum hewan memodifikasi hukum alam kewarganegaraan. Marshall (1950: 81) di sisi lain para demonstran memberikan  hak-hak bagi orang – orang yang ter’eksklusi’ dari status kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan membatasi otoritas tertinggi negara. H. R. G. Greaves (1966: 185) mengatakan bahwa hak kewarganeraan sebaiknya menjadi tanggung jawab kepada setiap anggotanya.
            Negara merupakan aktor yang memiliki fungsi menjaga dan bertanggung jawab terhadap hak – hak warga negaranya. Warga negara tidak memiliki kewenangan atau kekuatan yang besar dalam menjaga hak – hak yang mereka miliki.  Bukti konkrit negara dalam menjaga dan bertanggung jawab terhadap hak – hak warga negaranya adalah membuat undang – undang yang pro terhadap kepentingan banyak orang. Salah satu kepentingan yang harus dimiliki oleh setiap warga negara adalah ‘hak untuk hidup’. ‘hak untuk hidup’ bagi setiap warga tertuang di salah satu pasal di dalam UUD 1945, yang  menyatakan bahwa setiap orang miskin, anak jalanan, dan lainnya, ditanggung oleh negara, dan masih banyak pasal – pasal lainnya yang mengandung isi untuk menjaga warga negaranya.
            Hak – hak yang harus dimiliki oleh setiap warga tidak hanya hak properti dan hak perjanjian, melainkan juga hak untuk bebas berpikir atau berpendapat, hak untuk bebas berbicara, hak untuk bebas beragama, dan hak untuk berkumpul dan berasosiasi dengan sesama. Sama halnya dengan beberapa macam kebebasan yang didefinisikan oleh Rosevelt, yaitu kebebasan untuk berpikir, bebas dari rasa lapar, bebas beragama dan bebas berbicara. Beberapa macam hak yang dikemukakan di atas merupakan hak wajib yang harus dimiliki oleh setiap orang. Seseorang dapat dikatakan belum merdeka jika salah satu hak mereka masih belum dapat terpenuhi. Sebagai contoh, anak jalanan yang sering ngamen di sepanjang jalan belum merdeka jika hak nya untuk mendapatkan pendidikan belum tercapai. Namun, hal ini sungguh sulit diterapkan di dalam sistem  kenegaraan, dalam lingkup yang lebih luas. Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah, bagaimana negara dapat menjamin hak dari seluruh warganegaranya?
            Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa setiap orang wajib mendapatkan haknya, yakni hak untuk hidup, hak untuk bebas beragama, hak untuk bebas berbicara, dan hak untuk bebas berpikir. Dari keempat hak tersebut, hak yang paling mendasar yang wajib dimiliki oleh setiap orang adalah hak untuk hidup. Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana negara dapat menjamin hak dari seluruh warganya? Dalam hal ini, negara membuat sebuah sistem dimana setiap orang yang memiliki penghasilan wajib menyisihkan sebagian penghasilan tersebut kepada negara. Sistem tersebut adalah pajak. Negara mengatur pajak setiap warga negaranya, dengan tujuan membedakan pajak yang dikeluarkan oleh seseorang tergantung kemampuan ekonominya. Pajak yang telah terkumpul nantinya akan didistribusikan untuk kepentingan banyak orang, baik itu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga bagi orang yang tidak mampu, atau membangun infrastruktur dan sarana bagi warga, serta memberikan bantuan – bantuan lainnya dengan tujuan mensejahterkan setiap warganya.
            Marshall (1950: 87) mengatakan bahwa, ‘civil rights were essential to a competitive market economy because they gave to each person ‘the power to engage as an independent unit in the economics struggle’ is  followed by his observation that for this reason civil rights ‘made it possible to deny social protection on the ground that [a person] was equipped with the means to protect himself’. Apa yang dipaparkan oleh Marshall terjadi pada kehidupan saat ini, dimana setiap orang harus memiliki ‘kekuatan’ untuk berjuang mempertahankan ekonomi mereka, yang merupakan hak – hak warga sipil, yang artinya berjuang untuk melindungi diri mereka.
iii
            terdapat banyak kompleksitas dalam membicarakan hubungan antara elemen – elemen dari ‘citizenship’ di dalam diskusi mengenai hak atau kewajiban industri. Seringkali terjadi pergesekan – pergesekan antara pekerja dan industri dalam hal hak dan kewajiban di antara keduanya. Industri terlihat lebih sering memberikan kebijakan – kebijakan yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan dari para pekerjanya. Marshall menambahkan bahwa sesungguhnya di dalam hubungan industrial antara pekerja dan industri terdapat beberapa kepentingan, seperti masyarakat sipil (civil society), politik dan kewajiban sosial.
            Dalam hal ini, negara ini memiliki fungsi politik, menjadi regulator, dalam menjaga hubungan antara industri dan pekerjanya.  Hak – hak pekerja dituangkan di dalam Undang – undang Negara. Namun, seringkali industri tidak mengindahkan hak – hak pekerja, padahal negara sudah me-legalkan aturan tertulis mengenai hak – hak para pekerja, melalui kebijakan – kebijakan industri. Ketika kepentingan industri banyak bersinggungan dengan kepentingan pekerja, maka pekerja biasanya akan melakukan perjuangan. perjuangan tersebut dapat terlihat ketika kaum ‘woking class’ berjuang untuk mempertahankan hak mereka di dalam industri, yang mana industri merupakan pemegang utama atas hak – hak dari setiap pekerjanya dalam  menentukan upah, jam kerja, tunjangan kerja, dan lain sebagainya.
Karl Marx pun turut menyumbangkan pemikiran di dalam hubungan industrial antara pabrik dengan pekerja. Ia berpendapat bahwa di dalam hubungan industri antara pemilik dan pekerja, seringkali kaum pekerja dirugikan oleh kaum pemilik – dalam hal ini kebijakan – kebijakan industri tidak pro terhadap pekerja. Bagi kaum pekerja yang merasa kebijakan industri sesuai dengan kepentingannya, tidak menyadari hal tesebut, maka ia tergolong ke dalam ‘class in it self’, sebagaimana yang digambarkan oleh Marx. Namun berbeda halnya bagi kaum pekerja yang merasa kebijakan industri tersebut tidak sesuai dengan kepentingannya, menyadari hal tersebut, maka ia tergolong ke dalam ‘class for it self’, sebagaimana yang digambarkan oleh Marx pula. Bagi kelompok yang tergolong ke dalam ‘class for it self’, maka di antara sesama mereka akan muncul ‘class consciousness’, kesadaran kelas. Kesadaran kelas terwujud ketika sekelompok orang melakukan demonstrasi terhadap pemilik pabrik, biasanya para pekerja melakukan mogok dan lain sebagainya. Hal tersebut menggambarkan bahwa kaum pekerja menginginkan perundingan dengan pemilik pabrik tersebut. Dari perundingan tersebut terciptalah ‘collective bargaining’, perundingan kolektif, dimana dari kedua kubu – antara pemilik dan pekerja – menyepakati kebijakan -  kebijakan yang tidak berat sebelah, atau merugikan salah satu pihak.
iv
            Hubungan antara komponen yang berbeda di dalam ‘citizenship’ terlihat sangatlah kompleks. ‘civil rigths’, hak – hak sipil, sangat penting di dalam pondasi ekonomi kapitalis, tetapi juga menentukan kesempatan bagi para pekerja untuk menantangnya. Kebijakan industrial mencoba bertentangan hak – hak sipil dan juga terhadap kepemilikan dan kontrak dengan pekerjanya; tapi di satu sisi membantu mengatur upah pekerja dan menentukan keamanan di dalam pekerjaan, mereka juga berfungsi untuk menstabilkan  komoditas pasar dan hubungan industrial. Hubungan logik dari kedua tipe ‘right’ yang berbeda ini adalah mereka memiliki hubungan antara yang satu dengan lainnya dan merupakan refleksi hubungan sosial di dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. 

Inequality of What?


Mencari solusi dari kesenjangan ekonomi dan sosial menimbulkan banyak dilema. Ketidaksetaraan, atau kesenjangan, sering menjadi hal yang sulit dibedakan di dalam ‘keadilan’. Adam Smith memberikan perhatian pada kepentingan masyarakat miskin (yang kepentingan mereka sering diabaikan) yang secara alamiah sering dianggap sebagai ‘impartial spectator’- penyelidikan langsung yang menawarkan pengetahuan tentang keadilan sosial. sama halnya dengan ide John Rawls keadilan, ketidaksetaraan di dalam masyarakat juga sulit dibenarkan ‘kewajarannya’ di dalam anggota masyarakat yang sebenarnya. Menurut John Rawls, ketidaksetaraan itu sendiri menimbulkan dilema tertentu ketika masyarakat mencoba menafsirkannya sendiri di dalam anggota masyarakat.
            Kesenjangan sosial terkadang dapat mengikis kohesi sosial, kedekatan secara sosial. beberapa bentuk kesenjangan dapat menciptakan tindakan yang tidak berarti apa-apa. Konflik sosial yang sering muncul di dalam kesenjangan dapat dicontohkan ketika seseorang yang memiliki keadaan ekonomi menengah ke bawah bermukim di sekitar pemukiman ekonomi menengah ke atas. Kesenjangan dapat terlihat dari bentuk luas tanah, bentuk rumah, eksterior rumah, dan lain sebagainya.
            Kesenjangan sosial selalu meliputi setiap aspek yang ada di dalam kehidupan masyarakat modern, dimana setiap orang dituntut untuk memiliki spesialisasi-spesialisasi tertentu. Spesialisasi di dalam masyarakat modern saat ini, dapat menentukan seseorang berada pada ‘ranking’ ekonomi tertentu. Sebagai contoh, ‘ranking’ masyarakat yang berasal dari ekonomi kelas menengah dapat dilihat melalui kondisi kesehatannya.




Unemployment and Capability Deprivation
            Kesenjangan, jika kita berbicara dalam lingkup pendapatan, sangat berbeda keterkaitannya di antara keduanya. Sedangkan kapabilitas, atau kemampuan, akan lebih mudah diilustrasikan dengan menggunakan contoh-contoh yang bersifat praktis. Di dalam konteks negara Eropa, perbedaan ini merupakan hal yang tidak mudah untuk dibandingkan, karena merupakan hal yang umum bagi sebagian besar pengangguran Eropa yang bersifat kontemporer. Kehilangan pendapatan merupakan konsekuensi dari tidak bekerja, atau pengangguran. Hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh pengangguran, hingga batas tertentu, dapat dikompensasi dengan dukungan pendapatan (termasuk tunjangan pengangguran), yang biasanya terjadi di Eropa Barat. Jika kehilangan penghasilan semua yang terlibat dalam pengangguran, maka kerugian yang dapat  sebagian besar terhapus – bagi individu yang terlibat - oleh dukungan penghasilan (ada,tentu saja, masalah lebih lanjut dari biaya sosial dari beban fiskal dan insentif efek yang terlibat kompensasi ini). Sebagai contoh, Eropa Barat termasuk salah satu negara yang menjamin kehidupan setiap warganya, baik dalam hal pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Bahkan, orang yang tidak bekerja pun mendapatkan jaminan ekonomi dari negara, yaitu dengan memberikan tunjangan pengangguran. Secara administratif, seorang yang tidak memiliki pekerjaan akan mendapatkan keuntungan yang dijamin oleh negara. Namun, seorang yang tidak memiliki pekerjaan justru mendapatkan masalah yang lebih besar daripada pajak dan biaya kehidupan lainnya, yaitu masalah sosial. seseorang yang tidak memiliki pekerjaan mempunyai efek yang berat bagi kehidupan individual, yaitu kehilangan  faktor lain, secara individual, maka perbaikan pendapatan akan mempengaruhi masalah individual seseorang yang tidak memiliki pekerjaan. Terdapat banyak bukti bahwa orang yang tidak bekerja memiliki masalah yang lebih banyak dibandingkan hilangnya pendapatan, yaitu permasalahan psikologi, kehilangan motivasi kerja, kehilangan skill dan percaya diri, meningkatnya penyakit dan ‘morbidity’ (tingginya angka kematian), kekacauan hubungan rumah tangga dan lingkungan sosial, meningkatkan eksklusi sosial, semakin ketegangan antar ras dan jender.

Historical Perspective On Inequality


Bicara mengenai kesenjangan dan eksklusi sosial, seringkali dikaitkan dengan ketimpangan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi meliputi seluruh aspek dalam masyarakat, seperti ras dan etnik minoritas, perempuan, agama kepercayaan, dan beberapa kategori sexual lainnya. Konsep kesenjangan dan eksklusi secara historis muncul pada tahun 70-an di Eropa, meliputi Inggris dan Amerika Utara.
            Dalam dunia kontemporer seperti yang kita alami sekarang, ketimpangan banyak dikaitkan dengan faktor ekonomi. Faktor ekonomi seakan-akan tidak bisa dipisahkan dalam konteks sosial saat ini. Karena, faktor ekonomi merupakan salah satu penentu kesejahteraan masyarakat. Di dalam handout tentang Historical Perspective On Inequality juga dijelaskan bahwa globalisasi, yang awalnya bertujuan untuk membuka peluang sebebas-bebasnya agar setiap negara mampu mengembangkan negaranya masing-masing, ternyata tidak membawa dampak positif yang merata bagi semua negara. Perkembangan ilmu pengetahuan  yang memiliki dampak langsung terhadap bidang pengobatan, komunikasi, pertanian hingga industry manufaktur hanya terkonsentrasi pada negara-nagara kaya. Tak heran jika eksklusi dan kesenjangan sosial selalu bersinggungan dengan proses atau minimnya sumberdaya atau akses yang diperoleh oleh suatu kelompok.
            Terdapat empat elemen dalam ketimpangan, yaitu:
1.      Kumpulan posisi, bias dalam pekerjaan, ruang publik, keistimewaan tertentu terhadap sebuah posisi.
2.      Kumpulan dari ketidaksamaan imbalan posisi.
3.      Perbedaan posisi dari mekanisme dan akses yang diperoleh.
4.      Variasi yang berbeda dari setiap individu
Dari beberapa pemaparan yang ada di atas, timbul beberapa pertanyaan:
1.      Eksklusi sering dikaitkan ketimpangan oleh kelompok masyarakat kecil, yang minim akses. Apakah eksklusi sendiri juga mencakup masyarakat kelas atas, yang aksesnya terjamin?
2.      Eksklusi pasti menghasilkan konflik. Apakah konflik yang dihasilkan tersebut dapat diselesaikan?