Artikel I:
Upacara Ngaben
Menurut kepercayaan umat Hindu Bali,
upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, merupakan sebuah kewajiban yang harus
dilakukan ketika seseorang meninggal dunia. Ketika manusia meninggal dunia,
maka atma (roh) secara langsung terpisah dengan jasad atau badan. Badan manusia
terdiri dari 3 wujud, yaitu badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar
manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu pertiwi (zat
padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang
hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakkan oleh
atma (roh)[1].
Upacara pembakaran jenazah, atau
Ngaben, merupakan upacara penyucian atma (roh) saat meninggalkan badan kasar.
Karena, dengan dilaksanakannya Ngaben orang yang sudah meninggal terbebas dari
ikatan-ikatan duniawiah ketika menuju surga, atau justru hidup kembali ke dunia
melalui reinkarnasi, suatu konsep yang menyatakan bahwa seseorang yang sudah
mati akan dilahirkan kembali dalam kehidupan yang lain.
Di dalam upacara pembakaran jenazah,
atau Ngaben, terlihat adanya sebuah relasi atau hubungan antara adat dan agama.
Menurut Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari
bagian-bagian (atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma, ritus, dan
seremoni[2].
Selanjutnya Durkheim juga menambahkan bahwa agama merupakan institusi yang
menjaga integrasi dan solidaritas sosial, melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga merupakan
wujud dari religious effervescence,
ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap
anggotanya. Sedangkan adat merupakan hukum kebiasaan, aturan sopan santun (tata
krama), kesusilaan, dan rasa kepatutan dalam masyarakat[3].
Bali
merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadikan adat sebagai tata-cara
pelaksanaan ajaran agama Hindu. Bagi sebagian besar masyarakat Hindu Bali, adat
dan agama merupakan dua buah komponen yang berbeda tapi memiliki keterkaitan
satu sama lain. Agama merupakan sumber
untuk menemukan asal, hakekat dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk
merealisasikan diri dalam kehidupan, dan budaya adalah sarana untuk mendapatkan
nilai kehidupan di dunia[4].
Upacara
pembakaran jenazah, atau Ngaben, secara sosiologis dapat diartikan sebagai
sebuah eksistensi nilai-nilai keimanan masyarakat Hindu Bali terhadap
ke-Tuhanan. Merujuk pada konsep religious
effervescence yang dikemukakan oleh Durkheim, yaitu sebuah ritual agama
yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya,
Ngaben menjadi sebuah upacara adat untuk mempertemukan orang yang sudah
meninggal dengan Sang Pencipta, yaitu Brahma. Brahma merupakan Tuhan yang suci.
Untuk bertemu dengan Tuhan, maka setiap orang harus membersihkan dirinya
terlebih dahulu. Proses pembersihan diri, untuk bertemu Tuhan, dinamakan oleh
masyarakat Hindu Bali sebagai Ngaben, hingga sekarang menjadi suatu adat yang
diwajibkan ketika seseorang meninggal dunia.
Di
dalam proses pembakaran jenazah, Ngaben, terdapat sebuah kegiatan kolektif,
yang digambarkan oleh Durkheim sebagai collective
counciousness, yaitu kesadaran bersama. Ngaben seringkali menjadi kendala
bagi masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke
bawah. Khusus untuk masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi
menengah ke bawah, mereka dapat melakukan Ngaben secara massal, atau bersamaan.
Ngaben merupakan sebuah adat untuk pembersihan diri sebelum bertemu Brahma,
masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi kelas bawah secara
sadar timbul inisiatif untuk bergotong royong menanggung biaya, tenaga, sajen,
serta prosesi lainnya secara bersamaan.
Adat
dan agama merupakan dua komponen dengan berbagai dimensi yang berbeda di antara
keduanya. Namun, adat dan agama memiliki keterkaitan antara yang satu dengan
yang lainnya. Keterkaitan tersebut terwujud ketika para penganutnya melakukan
ritual, mitos-mitos, dogma, dan ritus untuk menjaga seluruh penganutnya agar
terhindar dari segala keburukan-keburukan yang dapat menjerumuskan penganutnya
ke jalan yang salah. Karena, eksistensi dari agama dan adat adalah membawa
penganutnya ke jalan yang benar.
Artikel II:
Upacara Bhuta Yadnya
Agama
merupakan sebuah sistem kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Di dalam
agama terdapat dogma, ritus, mitos, dan ritual yang dipercayai oleh penganutnya
sebagai ajaran untuk mendapatkan kebenaran. Penganut dari suatu agama akan
senantiasa melakukan ritual-ritual tertentu sebagai wujud ketaatan dan kepatuhannya
terhadap suruhan Tuhan.
Bali, merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu, khususnya Hindu Bali.
Di dalam ajaran Hindu Bali terdapat berbagai macam ritual yang harus dilakukan
oleh penganutnya sebagai umat yang taat kepada perintah Tuhan. Tak heran, jika
hampir disetiap jalanan atau tempat banyak ditemui sajen yang sengaja ditaruh
sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan.
Kegiatan beragama umat Hindu Bali
diperkuat dengan adanya sistem adat di dalam masyarakat Bali. Adat merupakan
gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan,
kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah[5].
Sebagai contoh, umah Hindu Bali sering menggelar Upacara Bhuta Yadnya, yaitu
upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala agar jangan mengganggu ketentraman
manusia di dunia[6].
Upacara Bhuta Yadnya dapat dibagi
menjadi tiga tingkatan. Yaitu:
- Upacara Bhuta Yadnya dalam
tingkatan kecil seperti segehan dan yang setingkat. Upacara Bhuta
Yadnya dalam tingkatan yang kecil/segehan. Dengan banten atau sesajen lauk
pauknya yang sangat sederhana terdiri dari Bawang merah, Jahe, Garam dll.
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi
yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan
Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.
- Upacara Bhuta Yadnya dalam
tingkatan sedang (madya) yang disebut caru. Upacara Bhuta Yadnya dalam
tingkatan yang sedang/madya. Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini
di sebut dengan Caru . Pada tingkatan ini selain mempergunakan
banten/sesajen lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging
binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan
jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis caru tersebut adalah
Caru ayam berumbun (dengan satu ekor ayam), Caru panca sata (caru yang
menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata
angin), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di
tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara
yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
- Upacara Bhuta Yadnya dalam
tingkatan yang besar (utama). Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang
besar/utama.Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur
Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah
upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka
Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun
sekali, atau Dharma Dan).
Secara sosiologis, upacara Bhuta Yadnya merupakan sebuah religious effervescence.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, religious effervescence merupakan ritual agama yang sengaja dibuat
untuk penganutnya. Religious effervescence
dikuatkan eksistensinya di dalam kehidupan masyarakat melalui sistem adat,
seperti melakukan upacara Bhuta Yadnya sebagai
pengorbanan/persembahan terhadap Butha, alam semesta
ciptaan Hyang Widhi[7],
yang dilakukan rutin sebelum mengadakan upacara adat yang lebih besar. Hal ini dikarenakan
sebagian besar masyarakat Hindu Bali mempercayai bahwa setiap orang yang ingin
membuat upacara-upacara yang bersifat besar harus membuat upacara kecil
terlebih dahulu sebagai wujud terima kasih kepada Butha agar Butha senantiasa
menjaga ketentraman dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan.
Bahan referensi:
1.
Buku
Hanneman
Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern,
2010, Depok: Kepik Ungu
2.
Referensi
lainnya
-
http://info.indotoplist.com/?YldWdWRUMWtaWFJoYVd3bWFXNW1iMTlwWkQweU5UST0=a,
diunduh pada tanggal 1 Oktober, pukul 21:55
-
http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-bhuta-yadnya,
diunduh pada tanggal 1 Oktober 2011, pukul 22:06
-
Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama
tanggal 28 September 2011
-
Catatan Mata Kuliah Teori Sosiologi II
[1] http://info.indotoplist.com/?YldWdWRUMWtaWFJoYVd3bWFXNW1iMTlwWkQweU5UST0=a,
diunduh pada tanggal 1 Oktober, pukul 21:55
[2] Hanneman Samuel, Emile Durkheim,
Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik
Ungu, hal.73
[3] Bahan Mata Kuliah Sosiologi
Agama tanggal 28 September 2011
[4] Ibid, bahan MK Sosiologi Agama
tanggal 28 September 2011
[5] Catatan MK Sosiologi Agama pada
tanggal 28 September 2011
[6] http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-bhuta-yadnya,
diunduh pada tanggal 1 Oktober 2011, pukul 22:06
[7]
http://stitidharma.org/upacara-bhuta-yadnya/,
diunduh pada tanggal 2 Oktober 2011, pukul 21:46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar