Jumat, 21 Oktober 2011

Adat dan Agama Bali - Sosiologi Agama


Artikel I:
Upacara Ngaben
            Menurut kepercayaan umat Hindu Bali, upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan ketika seseorang meninggal dunia. Ketika manusia meninggal dunia, maka atma (roh) secara langsung terpisah dengan jasad atau badan. Badan manusia terdiri dari 3 wujud, yaitu badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakkan oleh atma (roh)[1].
            Upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, merupakan upacara penyucian atma (roh) saat meninggalkan badan kasar. Karena, dengan dilaksanakannya Ngaben orang yang sudah meninggal terbebas dari ikatan-ikatan duniawiah ketika menuju surga, atau justru hidup kembali ke dunia melalui reinkarnasi, suatu konsep yang menyatakan bahwa seseorang yang sudah mati akan dilahirkan kembali dalam kehidupan yang lain.
            Di dalam upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, terlihat adanya sebuah relasi atau hubungan antara adat dan agama. Menurut Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma, ritus, dan seremoni[2]. Selanjutnya Durkheim juga menambahkan bahwa agama merupakan institusi yang menjaga integrasi dan solidaritas sosial, melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga merupakan wujud dari religious effervescence, ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya. Sedangkan adat merupakan hukum kebiasaan, aturan sopan santun (tata krama), kesusilaan, dan rasa kepatutan dalam masyarakat[3].
Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadikan adat sebagai tata-cara pelaksanaan ajaran agama Hindu. Bagi sebagian besar masyarakat Hindu Bali, adat dan agama merupakan dua buah komponen yang berbeda tapi memiliki keterkaitan satu sama lain. Agama merupakan  sumber untuk menemukan asal, hakekat dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk merealisasikan diri dalam kehidupan, dan budaya adalah sarana untuk mendapatkan nilai kehidupan di dunia[4].
Upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, secara sosiologis dapat diartikan sebagai sebuah eksistensi nilai-nilai keimanan masyarakat Hindu Bali terhadap ke-Tuhanan. Merujuk pada konsep religious effervescence yang dikemukakan oleh Durkheim, yaitu sebuah ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya, Ngaben menjadi sebuah upacara adat untuk mempertemukan orang yang sudah meninggal dengan Sang Pencipta, yaitu Brahma. Brahma merupakan Tuhan yang suci. Untuk bertemu dengan Tuhan, maka setiap orang harus membersihkan dirinya terlebih dahulu. Proses pembersihan diri, untuk bertemu Tuhan, dinamakan oleh masyarakat Hindu Bali sebagai Ngaben, hingga sekarang menjadi suatu adat yang diwajibkan ketika seseorang meninggal dunia.
Di dalam proses pembakaran jenazah, Ngaben, terdapat sebuah kegiatan kolektif, yang digambarkan oleh Durkheim sebagai collective counciousness, yaitu kesadaran bersama. Ngaben seringkali menjadi kendala bagi masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Khusus untuk masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, mereka dapat melakukan Ngaben secara massal, atau bersamaan. Ngaben merupakan sebuah adat untuk pembersihan diri sebelum bertemu Brahma, masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi kelas bawah secara sadar timbul inisiatif untuk bergotong royong menanggung biaya, tenaga, sajen, serta prosesi lainnya secara bersamaan.
Adat dan agama merupakan dua komponen dengan berbagai dimensi yang berbeda di antara keduanya. Namun, adat dan agama memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut terwujud ketika para penganutnya melakukan ritual, mitos-mitos, dogma, dan ritus untuk menjaga seluruh penganutnya agar terhindar dari segala keburukan-keburukan yang dapat menjerumuskan penganutnya ke jalan yang salah. Karena, eksistensi dari agama dan adat adalah membawa penganutnya ke jalan yang benar.
Artikel II:
Upacara Bhuta Yadnya
            Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Di dalam agama terdapat dogma, ritus, mitos, dan ritual yang dipercayai oleh penganutnya sebagai ajaran untuk mendapatkan kebenaran. Penganut dari suatu agama akan senantiasa melakukan ritual-ritual tertentu sebagai wujud ketaatan dan kepatuhannya terhadap suruhan Tuhan.
            Bali, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu, khususnya Hindu Bali. Di dalam ajaran Hindu Bali terdapat berbagai macam ritual yang harus dilakukan oleh penganutnya sebagai umat yang taat kepada perintah Tuhan. Tak heran, jika hampir disetiap jalanan atau tempat banyak ditemui sajen yang sengaja ditaruh sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan.
            Kegiatan beragama umat Hindu Bali diperkuat dengan adanya sistem adat di dalam masyarakat Bali. Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah[5]. Sebagai contoh, umah Hindu Bali sering menggelar Upacara Bhuta Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala agar jangan mengganggu ketentraman manusia di dunia[6].
            Upacara Bhuta Yadnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Yaitu:
  1. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan kecil seperti segehan dan yang setingkat. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil/segehan. Dengan banten atau sesajen lauk pauknya yang sangat sederhana terdiri dari Bawang merah, Jahe, Garam dll. Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.
  2. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan sedang (madya) yang disebut caru. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang sedang/madya. Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan Caru . Pada tingkatan ini selain mempergunakan banten/sesajen lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis caru tersebut adalah Caru ayam berumbun (dengan satu ekor ayam), Caru panca sata (caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
  3. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar (utama). Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar/utama.Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali, atau Dharma Dan).
Secara sosiologis, upacara Bhuta Yadnya merupakan sebuah religious effervescence. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, religious effervescence merupakan ritual agama yang sengaja dibuat untuk penganutnya. Religious effervescence dikuatkan eksistensinya di dalam kehidupan masyarakat melalui sistem adat, seperti melakukan upacara Bhuta Yadnya sebagai pengorbanan/persembahan terhadap Butha, alam semesta ciptaan Hyang Widhi[7], yang dilakukan rutin sebelum mengadakan upacara adat yang lebih besar. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Hindu Bali mempercayai bahwa setiap orang yang ingin membuat upacara-upacara yang bersifat besar harus membuat upacara kecil terlebih dahulu sebagai wujud terima kasih kepada Butha agar Butha senantiasa menjaga ketentraman dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan.

Bahan referensi:
1.      Buku
Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu
2.      Referensi lainnya
-          http://info.indotoplist.com/?YldWdWRUMWtaWFJoYVd3bWFXNW1iMTlwWkQweU5UST0=a, diunduh pada tanggal 1 Oktober, pukul 21:55
-          http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-bhuta-yadnya, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2011, pukul 22:06
-          Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
-          Catatan Mata Kuliah Teori Sosiologi II


[2] Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu, hal.73
[3] Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[4] Ibid, bahan MK Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[5] Catatan MK Sosiologi Agama pada tanggal 28 September 2011
[6] http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-bhuta-yadnya, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2011, pukul 22:06
[7] http://stitidharma.org/upacara-bhuta-yadnya/, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2011, pukul 21:46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar