Jumat, 21 Oktober 2011

Adat dan Agama Minangkabau - Sosiologi Agama


I.Upacara Semasa Remaja
            Upacara semasa remaja adalah serangkaian upacara-upacara yang ditujukan kepada anak yang sudah beranjak dewasa. Biasanya, upacara-upacara yang dilakukan ini bertujuan agar para remaja memiliki pegangan, ilmu dan agama, jika ia hendak pergi merantau. Upacara semasa remaja sangat diutamakan bagi anak laki-laki, karena anak laki-laki merupakan salah satu anggota keluarga yang paling banyak merantau. Upacara semasa remaja dapat dibedakan sebagai berikut[1]:
a.       Manjalang guru (menemui guru)
Manjalang guru (menemui guru) adalah kewajiban orang tua untuk mengantarkan anaknya menemui guru untuk menuntut ilmu, baik itu di bidang agama maupun adat. Anak atau keponakannya diserahkan untuk dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan yang diinginkan. Biasanya sebelum anak resmi diserahkan dan dititip di kediaman guru, anak akan melakukan balimau. Balimau adalah kegiatan mandi yang dibimbing oleh guru sebagai lambang bahwa anak didiknya dibersihkan lahirnya terlebih dahulu kemudian diisi batinnya dengan ilmu pengetahuan.
b.      Batutue (bertutur)
Batutue (bertutur) adalah anak didik mendapatkan pengetahuan dengan cara guru bercerita. Di dalam cerita terdapat pengajaran adat dan agama, mengaji adat istiadat. Di dalam pelajaran ini, anak didik mendapat pengetahuan yang berkaitan dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat.
c.       Mangaji halam jo haram (mengaji halal dan haram)
Mengaji halam jo haram (mengaji halal dan haram) adalah pengetahuan yang berkaitan dengan pengajaran agama. Mengaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah baso, yaitu pengajaran yang berkaitan dengan adat istiadat dan moral.
Adat merupakan hukum kebiasaan, aturan sopan santun (tata krama), kesusilaan, dan rasa kepatutan dalam masyarakat[2], sedangkan agama merupakan  sumber untuk menemukan asal, hakekat dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk merealisasikan diri dalam kehidupan, dan budaya adalah sarana untuk mendapatkan nilai kehidupan di dunia[3].
Dalam konteks agama dan adat di Minangkabau keduanya terlihat memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, simbiosis mutualisme. Bagi masyarakat Minangkabau, agama merupakan suatu pegangan dan panutan bagi masyarakat, sedangkan adat merupakan penguat sistem yang ada di dalam agama. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, agama yang dianut adalah Islam. Tak heran jika orang Minang memiliki slogan, ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’, adat bersandar syara’, syara’ bersandar kitabullah (Al-Quran).
            Di dalam Islam, merupakan suatu kewajiban bagi setiap penganutnya untuk menuntut ilmu. Di dalam Islam sendiri, ilmu adalah pengetahuan yang tersebar di seluruh alam semesta yang mana setiap umat Islam wajib mencari pemahamannya sendiri untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Kewajiban umat Islam untuk menuntut ilmu pun tertuang di dalam peribahasa, yaitu ‘uthlabul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi’, tuntutlah ilmu dari mulai dalam buaian hingga ke dalam liang lahad.
            Kewajiban menuntut ilmu pun juga tertuang di dalam adat masyarakat Minangkabau, yaitu mengadakan upacara semasa remaja yang bertujuan agar remaja memiliki pegangan ilmu, baik itu ilmu agama dan adat. Tujuan para remaja menuntut ilmu adalah agar mereka memiliki pegangan hidup, yaitu ilmu agama dan adat, agar mereka memiliki ilmu ketika mereka berada di perantauan.
II.Upacara Kematian
            Upacara kematian di dalam adat Minangkabau adalah suatu persembahan terakhir kepada orang yang meninggal. Upacara kematian tidak hanya menjadi adat di dalam adat Minangkabau melainkan juga kewajiban bagi seluruh umat Muslim di dunia. Upacara kematian dapat dibedakan sebagai berikut[4]:
  1. Memandikan jenazah
Memandikan jenazah adalah kegiatan yang melambangkan agar jenazah bersih dari segala hadas, kotoran, dan dosa-dosa yang dilakukan semasa jenazah hidup.
  1. Menyolatkan jenazah
Adalah persembahan shalat terakhir bagi jenazah yang dilakukan secara berjamaah. Shalat terakhir ini ditujukan kepada jenazah sebagai wujud kegiatan keagamaan terakhir bagi jenazah.
  1. Mengantarkan jenazah ke liang lahat
Ritual ini sama halnya dengan memakamkan jenazah ke dalam liang lahat, dan disaksikan oleh orang-orang yang mengantarkannya. Ritual ini juga ditujukan kepada orang-orang yang menyaksikan prosesi memakamkan jenazah agar yang menyaksikan selalu mengingat kematian.
  1. Ta’ziah
Pergi melayat (ta’ziah) ke rumah orang yang meninggal merupakan adat bagi orang Minangkabau. Tidak hanya karena dianjurkan ajaran Islam, tapi juga karena hubungan kemasyarakatan yang sangat akrab membuat mereka malu bila tidak datang melayat.
  1. Peringatan
Selanjutnya ada pula acara peringatan, seperti peringatan tujuh hati (manujuah hari), peringatan duo puluah satu hari, peringatan hari ke-40, lalu peringatan pada hari yang ke-100 (manyaratuih hari)[5].
Slogan ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’, adat bersandar syara’, syara’ bersandar kitabullah (Al-Quran), selalu menjadi pegangan jika kita berbicara mengenai adat dan agama pada masyarakat Minang. Adat dan agama seakan tidak dapat terpisahkan bagi sebagian besar masyarakat Minang, karena keseharian perilaku yang dilakukan oleh masyarakat Minang pada umumnya sangat berkaitan dengan agama Islam pula.
Menurut Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma, ritus, dan seremoni[6]. Selanjutnya Durkheim juga menambahkan bahwa agama merupakan institusi yang menjaga integrasi dan solidaritas sosial, melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga merupakan wujud dari religious effervescence, ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya.
Dengan menggunakan konsep religious effervescence yang dikemukakan oleh Durkheim, terlihat bahwa masyarakat Minang menciptakan ritual upacara kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Ritual upacara bagi orang yang telah meninggal dunia merupakan wujud persembahan orang-orang yang sedang hidup kepada orang yang telah meninggal dunia. Prosesi upacara kematian dapat terlihat dari beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas. Selanjutnya, dengan adanya ritual yang sengaja diciptakan tersebut, upacara kematian, maka muncul collective counciousness, kesadaran kolektif, kepada setiap masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Collective counciousness dalam prosesi upacara kematian dapat terlihat ketika pertama kali mayat dimandikan. lalu kesadaran kolektif tersebut semakin terlihat ketika memasuki prosesi dishalatkannya jenazah, menggotong jenazah hingga menguburkannya, menyaksikan penguburan jenazah, ta’ziah, serta peringatan yang diulang di hari ke 40, hari ke 100.
Daftar Referensi:
BUKU:
-          Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu
-          Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
-          Prof. Dr. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cetakan ke 20, 2004, Jakarta: Djambatan
Internet:
-          http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/2-upacara-adat.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.52
-          http://ukm.itb.ac.id/adat-budaya/upacara-upacara-adat-minangkabau/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.46


[1] http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/2-upacara-adat.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.52
[2] Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[3] Ibid, bahan MK Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[4] http://ukm.itb.ac.id/adat-budaya/upacara-upacara-adat-minangkabau/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.46
[5] Namun, di dalam bukunya Prof. Dr. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, dikatakan bahwa dulunya peringatan bagi orang yang sudah meninggal diulang hingga hari ke-1000. Mungkin budaya 1000 hari tersebut telah terkikis seiring dengan berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat Minang.
[6] Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu, hal.73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar