Rabu, 27 April 2011

Beberapa Akar Masalah Pendidikan Indonesia

Hingga saat ini, semua kalangan dari berbagai lapisan masyarakat masih menganggap bahwa pendidikan merupakan suatu cara yang paling tepat untuk merubah status sosial yang mereka miliki. Petani miskin mengharapkan jika anaknya mengenyam pendidikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan akan mampu memobilisasi status ekonomi mereka kepada status ekonomi yang lebih tinggi. Begitu pula dengan seorang direktur dari sebuah perusahaan menginginkan anaknya untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, bahkan sampai ke luar negeri sekalipun. Apa yang dimaksud pendidikan sehinga diidam-idamkan oleh banyak orang?
Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan nasional, mengatakan bahwa pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan dan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak sesuai dengan alam dan masyarakatnya[1]. Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat[2].
Dari penjelasan yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara dan merujuk dari undang-undang tentang pendidikan, menunjukkan bahwa pendidikan merupakan sebuah media sosialisasi yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia agar mampu menambahkan tingkat kecerdasan, moral dan akhlak dari tiap-tiap warganya. Setiap warga negara Indonesia wajib mengenyam pendidikan, bahkan Indonesia berani menjamin bahwa setiap warga negaranya berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Bila merujuk pada isi dari undang-undang tentang pendidikan Indonesia, hal ini menjadi ironi bagi negeri ini. Pada prakteknya, undang-undang tersebut hanya menjadi sebuah tulisan belaka tanpa ada kejelasan yang pasti. Hal ini sungguh sangat disayangkan bagi nasib masyarakat-masyarakat yang memiliki ketidak mampuan material dan berada di daerah terpencil. Mereka-mereka yang jauh dari pusat peradaban masih belum dapat merasakan tetesan-tetesan pendidikan, walaupun ada tapi sarana dan prasarana juga tidak mendukung.
Penulis melihat bahwa adanya ketidak merataan pendidikan yang didapatkan oleh setiap warga dari daerah yang berbeda pula. Pemerintah seakan-akan hanya memperhatikan nasib anak bangsa yang berada di dekat pusat pemerintahan dan kurang memperhatikan nasib anak bangsa yang berada di ujung Barat dan Timur Indonesia. Jauh di ujung Barat sana masih banyak anak-anak kecil yang sudah bermata pencaharian, begitupun sebaliknya dengan nasib anak-anak di ujung Timur Indonesia. Sedangkan nasib anak-anak yang berada di pusat pemerintahan memiliki kecukupan lahir dan bathin atas pendidikan yang mereka dapatkan. Semakin dekat pendidikan dengan pusat pemerintahan, semakin dekat pula akses yang didapatkan. Semakin jauh pendidikan dengan pusat pemerintahan, semakin jauh pula akses yang didapatkan.
Selain itu, penulis juga melihat kurangnya anticipatory socialization yang diberikan oleh sistem pendidikan di Indonesia, khususnya perguruan tinggi, Anticipatory socialization adalah sosialisasi persiapan yang mengarah terhadap masa depan. Hal ini terlihat dari tingginya angka pengangguran masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun.  Di tahun 2010 saja, diprediksi angka pengangguran yang ada di Indonesia berkisar dari 8 persen hingga 10 persen[3]. Dari data tersebut, mengindikasikan bahwa sistem pendidikan Indonesia belum tentu menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Terbukti dari banyaknya sarjana-sarjana yang menjadi pengangguran di berbagai daerah di Indonesia.
Dari pemaparan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa permasalahn yang terdapat pada pendidikan di Indonesia adalah kurangnya pemerataan pendidikan yang terdapat di seluruh daerah di Indonesia. Semakin dekat sebuah institusi pendidikan dengan pusat pemerintahan maka semakin mudah akses yang akan didapatkan. Begitu pun sebaliknya jika semakin jauh institusi pendidikan dari pusat pemerintahan maka semakin jauh pula akses yang didapatkan dari institusi pendidikan tersebut. Penulis juga melihat kurangnya participatory socialization yang diberikan dari institusi pendidikan yang ada di Indonesia, khususnya perguruan tinggi. Terlihat dari banyaknya jumlah pengangguran yang semakin bertambah tiap tahunnya. Terlihat bahwa pendidikan belum tentu menjamin seseorang untuk menjadi yang lebih baik untuk ke depannya.

Review Buku States and Social Revolutions - - - Theda Skocpol

Theda Skocpol mencoba menjelaskan pendekatan teoretis tentang Negara dan Revolusi. Seperti nanti akan diperlihatkan, Skocpol membangun teori dan argumentasi yang berbeda dengan teoretisi tentang Revolusi pada jamannya dan kemudian membangun argumentasi serta menegaskan metodologi yang komprehensif dalam menjelaskan pendekatan teoretisnya. Di dalam analisinya, Scokpol banyak mengadopsi teori-teori konflik marxist untuk menjelaskan revolusi sosial yang terjadi di dalam sebuah negara. Pada umumnya, negara adalah suatu badan yang terdapat di dalam suatu wilayah yang memiliki fungsi dan peran terhadap anggotanya. Praktisnya justru negara tidak menjalankan fungsi dan peran tersebut sehingga banyak hak-hak anggotanya yang tidak terpenuhi. Sehingga melibatkan masyarakat untuk berjuang memperjuangkan hak-hak yang tidak mereka dapatkan di dalam negara.
            “Negara merupakan asosiasi-asosiasi yang mempunyai kekuatan untuk memaksa dan monopoli kekerasan”.
            Dari kutipan Skocpol tersebut, terlihat jelas bahwa negara sendiri yang melakukan monopoli kekerasan bagi anggotanya. Dengan usaha apapun negara akan membuat konflik internal yang ada di dalam lingkupnya. Sebagai contoh, pada saat terjadinya pemilu atau pilkada di suatu daerah, pasti sangat banyak terjadinya pemicu-pemicu yang akan membuat kerusuhan atau konflik yang banyak melibatkan orang di dalamnya.
Seharusnya negara tidak hanya dilihat sebagai arena tempat terjadinya perjuangan sosial ekonomi, melainkan harus dilihat sebagai seperangkat organisasi adminsitrasi, pengambil kebijakan, dan militer yang dikepalai, atau kurang lebih dikoordinasi dengan baik oleh suatu otoritas eksekutif. Setiap negara pada dasarnya mengabil sumber daya masyarakat dan menyebarkan sumber daya ini untuk menciptakan dan mendukung organisasi pemaksa dan organisasi administratifnya. Tentu saja, organisasi negara yang mendasar ini dibangun dan harus beroperasi, baik dalam konteks hubungan sosial-ekonomi yang berlandaskan kelas, maupun konteks dinamika nasional dan internasional.
            Skocpol mendefinisikan Revolusi Sosial sebagai suatu perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas sebuah Negara dan revolusi tersebut dibarengi serta sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah. Pemberontakan tersebut bertujuan untuk merubah struktur sosial maupun struktur politik. Perubahan struktur sosial maupun struktur politik secara mendasar dan berlangsung secara bersamaan dan saling memperkuat. Perubahan ini berlangsung melalui konflik sosial-politik yang kuat dan dalamnya perjuangan kelas memainkan peranan yang sangat penting
            Revolusi terjadi karena adanya beberapa faktor, yaitu ketika keadaan struktur yang lemah yang mengalami tekanan ekonomi dan militer meningkat dari luar negeri, kombinasikan dengan struktur sosial-politik agraria yang diperbolehkan untuk pemberontakan petani, sama hasil dari revolusi dapat dipahami melalui pemeriksaan tekanan struktural yang dihadapi oleh pemerintahan revolusioner yang masuk. Pemberontakan yang dilakukan oleh petani biasanya berasal dari pengambilan tanah mereka oleh para tuan tanah, peningkatan secara mencolok pajak atau sewa tanah, atau karena problem kelaparan. Karena adanya permintaan yang tidak terpenuhi oleh para petani, maka mereka membuat suatu gerakan revolusioner yang mana ingin membuat suatu sistem baru yang lebih mengutamakan aspirasi mereka.
            Dia membahas tiga basis analisis struktural yang menjelaskan keberadaan revolusi, yang pertama, perspektif struktural untuk melihat penyebab dan hasil dari sebuah revolusi sosial. Di dalam perspektif struktural sendiri menjelaskan hubungan sebab akibat yang terjadi dari sebuah revolusi yang berdampak kepada lapisan sosial masyarakat. Yang kedua, mempertimbangkan konteks internasional dan sejarah dunia. Di dalam menganalisis suatu gerakan revolusioner, Scokpol banyak menganalisis revolusi sosial yang berpengaruh kepada dunia, yiaut Perancis (1787-1800), Rusia (1917-1921) dan Cina (1911-1949). Sebab musabab yang terjadi di tiga negara tersebut adalah bahwa rakyatnya kurang merasa puas dengan sistem lama yang terkesan kaku dan adanya kekuasaan yang mendominasi di dalam negara, banyak suara dan aspirasi rakyat tidak dipenuhi oleh kelompok kepentingan dan adanya perbedaan kepentingan antara petani dan tuan tanah. Dan yang ketiga adalah meletakkan fungsi dan peran negara. Fungsi dan peran negara adalah hal yang paling menentukan kontinuitas dan eksistensi suatu negara baik di dalam negeri maupun di luar.
            krisis Revolusioner dikembangkan bila status rezim lama menjadi tidak dapat memenuhi tantangan yang berkembang di dalam situasi internasional. Disintegrasi administrasi dan militer terpusat oleh karenanya telah memberikan benteng kesatuan tunggal tatanan sosial dan politik. Sering kali permulaan revolusi itu ditandai dengan gembar-gembor soal kelemahan atau kelumpuhan negara, biasanya disebabkan oleh ketidakberdayaan pemerintah untuk memecahkan problem-problem utama di bidang militer, ekonomi dan politik.
            Di dalam pemaparannya, revolusi itu sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga teori. Yang pertama, teori agregat psikologis, menjelaskan kepada kita bahwa revolusi itu terjadi karena adanya motivasi psikologis individu untuk melibatkan dirinya ke dalam kekerasan politik dan gerakan sosial. Yang kedua, teori konsensus sistem atau nilai, menjelaskan kepada kita bahwa revolusi itu sebagai respon fungsional dari gerakan ideologis terhadap ketimpangan yang parah di dalam masyarakat. Dan yang terakhir, teori konflik politik, menjelaskan kepada kita bahwa konflik yang terjadi di dalam kelompok adalah untuk memperebutkan kekuasaan.
            Jadi, revolusi adalah suatu cara untuk membuat sistem dan norma yang baru dikarenakan sistem dan norma yang lama sudah terlampau kaku. Menurut Scokpol, “Revolusi Sosial sebagai suatu perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas sebuah Negara dan revolusi tersebut dibarengi serta sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah”. Dari pemahaman tersebut, dapat dianalogikan bahwa terjadinya revolusi dikarenakan sistem yang telah terpatri di dalam suatu masyarakat tidak berkelanjutan dan cenderung berjalan di tempat dan adanya pemberontakan dari kelas bawah yang kepentingan mereka tidak diperjuangkan oleh negara. Jika negara tidak memperjuangkan kepentingan rakyatnya dapat dikatakan fungsi dan peran negara sudah rusak. Revolusi kadang diperlukan agar memperbaharui sistem lama yang terkesan tidak berpihak kepada tiap-tiap golongan. Karena, apabila ada satu golongan yang tidak diperhatikan oleh negara, maka negara tersebut dapat dikatakan mal-fungsi.

Teori Gerakan Sosial - - - Joe Foweraker

Di dalam membuat teori gerakan sosialnya, Joe Foweraker berangkat dari hasil penelitiannya terhadap gerakan sosial yang terjadi di Amerika Latin, toeri gerakan sosial baru Eropa dan teori mobilisasi sumber daya Amerika Utara. Kedua teori tersebut menggambarkan reaksi kesadaran pribadi atau ‘self conscious’ terhadap analisis ilmu sosial sebelumnya: teori gerakan sosial baru muncul dari kekecewaan terhadap tingginya versi struktural dan akademik Marxism. Dan teori mobilisasi sumber daya jelas ditolak oleh teori ‘psychological reduction’ terhadap tindakan kolektif di Amerika Serikat. Sebagai tambahan, kedua teori tersebut muncul dari respon terhadap aktifitas gerakan sosial pada era 1960-an seperti gerakan HAM, gerakan wanita dan gerakan anti-perang di Amerika, gerakan mahasiswa, gerakan anti-nuklir dan gerakan hijau yang pertama di Eropa. Dengan menempatkan teori disini terlihat bahwa teori gerakan sosial tidak hanya berkembang di Amerika Latin maupun aturan politiknya, tetapi gerakan sosial itu terjadi di seluruh penjuru dunia. Tulisan Joe Foweraker sendiri lebih memfokuskan terhadap studi perkembangan gerakan sosial yang ada di Amerika Latin, dan Joe Foweraker tidak hanya melihat dari satu dimensi saja melainkan dimensi politik, termasuk negara, rezim di dalamnya dan masyarakat sipil.
            Tidak hanya penelitian tentang gerakan sosial yang mungkin merangasang ilmu sosial di beberapa daerah di Amerika Latin. Lantas apa sebab terjadinya gerakan sosial di dalam suatu negara? Gerakan sosial muncul karena adanya tuntutan perubahan terhadap struktur dan sistem yang berlaku sebelumnya, yang mungkin terjadi banyak ketimpangan dan ketidak adilan, serta banyak aspirasi dari berbagai pihak tidak tersalurkan. Sehingga gerakan sosial itu sendiri merupakan sebuah ekspresi terhadap perubahan sosial yang diharapkan mampu menghasilkan ketertarikan terhadap kesamaan aspirasi yang mampu menampung aspirasi banyak orang. Dari penjelasan gerakan sosial itu sendiri, gerakan sosial merupakan sebuah proses sosial yang berada di dalam masyarakat. Bukan berarti itu hanyalah sebuah gerakan sosial yang dilakukan oleh sekelompok orang, tetapi justru lebih melihat proses bagaimana kelompok membuat suatu gerakan yang mampu merubah tatanan struktural maupun institusional dari sebuah sistem, negara.
            Kritik terhadap gerakan sosial yang terjadi di dalam konteks Amerika Latin adalah dimana etnisitas menopang ketimpangan sosial, ketika wanita menyusun mayoritas gerakan sosial yang ‘kekota-kotaan’, dan ketika konsen terhadap spesifik kelas dan pengalaman yang jelas terlihat, dan paling umum terlihat bentuk umum perlawanan dan protes terhadap ketidak adilan. Dari pemaparan kritik terhadap gerakan sosial yang terjadi di Amerika Latin terlihat adanya turun tangan etnis dari suatu kelompok masyarakat yang menopang terjadinya ketimpangan sosial. Lalu etnis tersebut mendominasi Amerika Latin, sehingga terjadi konflik, baik itu langsung maupun tidak langsung. Selain itu, wanita juga turut andil dalam melakukan gerakan sosial di Amerika Latin. Mereka mengusung sebuah konsep tentang gerakan sosial ‘kekota-kotaan’, yang berarti bahwa gerakan sosial itu sendiri tidak hanya terjadi akibat ketidak adilan dari masyarakat-masyarakat pedesaan. Akan tetapi, justru gerakan sosial itu sendiri terjadi di masyarakat perkotaan dimana banyak buruh-buruh pabrik, terlebih wanita, yang kesejahteraannya kurang diperhatikan. Banyak gerakan-gerakan sosial yang terjadi di Amerika Latin dikarenakan tingginya tingkat konsumerisme dalam masyarakat. Sehingga menimbulkan gerakan anti-konsumerisme yang beranjak dari teori pos-material Gerakan sosial di Amerika Latin juga terjadi karena adanya pembalakan hutan liar di Brazil. Hal ini menimbulkan banyak kontradiksi dari masyarakat setempat.
            Jadi kesimpulan yang dapat saya tarik dari teori gerakan sosial dalam kasusnya Amerika Latin adalah, gerakan sosial yang muncul di Amerika Latin berangkat dari aspek politik ekonomi dan kebudayaannya. Gerakan sosial itu sendiri bukan berarti bahwa yang dituntut untuk melakukan perubahan hanya aspek politik, ekonomi dan kebudayaan saja. Akan tetapi juga pada lingkup masyarakat lainnya seperti, gerakan Hak Asasi Manusia, gerakan lingkungan dan lain sebagainya. Gerakan sosial itu sendiri adalah suatu proses yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menginginkan adanya suatu perubahan sosial, baik itu aspek struktural maupun institusional negara. Gerakan sosial seringkali terjadi karena adanya ketimpangan yang dilakukan oleh elite-elite masyarakat. Sehingga terjadinya dominasi kepentingan tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat banyak.

Review Film - - - The Take

Pada akhir dekade 1990’an, Argentina terperosok kedalam kemiskinan yang berujung pada banyaknya hutang negara. Banyak perusahaan negara yang kemudian ditutup karena kolaps dikarenakan hal tersebut. Hal ini membuat munculnya gerakan politik baru yang dimotori oleh kaum buruh dengan cara melakukan pengambilalihan pabrik yang sudah tutup. Kaum buruh melakukan hal ini agar kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi, sekaligus menggerakan kembali perekonomian sektor riil.
Hal yang membedakan proses pengambilalihan di Argentina adalah ia tidak ditetapkan dari atas, oleh pemerintah atau birokrat, melainkan dari masyarakat yang menginginkan perubahan itu sendiri. Para pekerja bergerak tanpa ideologi, tetapi karena desakan kebutuhan yang menghidupkan kembali pabrik-pabrik. Itulah yang selalu berusaha dilakukan oleh kapitalisme, yakni membuktikan bahwa hal itu tidak mungkin. Lebih dari 200 pabrik dan ribuan pekerja telah dihidupkan kembali.
Masalah besar yang kemudian dihadapi oleh para pekerja adalah para pemilik perusahaan yang berusaha mengambil kembali aset mereka melalui jalur hukum. Dan itulah yang berusaha dimenangkan oleh para pekerja; mengesahkan proses pengambil-alihan mereka melalui jalur hukum juga. Namun hal itu gagal total. Hakim bersikeras bahwa pabrik harus dijalankan menurut konstitusi yang berlaku, dan ia menolak untuk mengesahkan pengambil-alihan tersebut.
Akhirnya para pekerja memalingkan usahanya pada golongan yang paling tidak disukai di Argentina, para politisi. Dan tanpa disangka-sangka, pada pertemuan kedua dengan dewan kota, pengambil-alihan itu disahkan secara aklamasi, dan langsung dilanjutkan ke dewan nasional malam itu juga. Para pekerja telah membuktikan bahwa dalam satu kesatuan class action, masyarakat memiliki kekuatan politis yang begitu besar, yang mampu menentukan arah kebijakan negara sekalipun.
Dietrich Rueschmeyer dalam gagasannya mengenai demokrasi mengatakan bahwa motor penggerak terjadinya demokrasi adalah kaum buruh. Hal ini relevan dengan apa yang terjadi di Argentina: proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para buruh pabrik merupakan penerapan model demokrasi langsung. Dan tidak hanya itu, mereka berhasil memenangkan isu tersebut di tatanan legal-formal. Hal tersebut jelas-jelas membuktikan terjadinya pergeseran kekuatan kelas, dimana kelas buruh berhasil menaikan posisi tawar mereka di tingkatan legislasi.
Proses pengambilalihan pabrik ini membuktikan pernyataan Rueschmeyer yang mengemukakan bahwa elemen utama yang mendorong terjadinya proses demokratisasi adalah kaum buruh. Hal ini bertolak belakang dengan ide Barrington Moore yang menyatakan bahwa motor penggerak demokrasi adalah kaum borjuis. Selain itu, pengambilalihan pabrik juga membuktikan adanya perimbangan kekuatan antara kaum buruh dengan kaum lainnya, sekaligus menegaskan relevansi pernyataan Rueschmeyer tentang industrialisasi dan demokrasi.

Green Peace - - - New Social Movement

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Industrialisasi merupakan sebuah proses yang mengolah bahan-bahan alam menjadi sebuah barang yang bernilai dengan menggunakan mesin. Dengan menggunakan peralatan mesin dalam mengolah barang, tentu saja banyak menggunakan sumber daya alam yang non-renewable, atau sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Hal tersebut tentu saja akan berdampak kepada generasi-generasi penerus yang mungkin saja sumber daya alam tersbebut habis. Industrialisasi juga cenderung tidak bersahabat terhadap lingkungan sekitar. Terbukti ketika banyak pabrik-pabrik yang sembarangan membuang limbah industrinya ke sungai-sungai warga. Selain itu pula, di dalam mekanisme pabrik itu sendiri menghasilkan asap pabrik yang sangat hitam yang membuat polusi udara sekitar.
Greenpeace adalah suatu organisasi lingkungan global yang didirikandi Vancouver, British ColumbiaKanada pada 1971. Greenpeace merupakan sebuah organisasi lingkungan Internasional yang memiliki semboyan save our world. Greenpeace dikenal menggunakan aksi langsung tanpa kekerasan konfrontasi damai dalam melakukan kampanye untuk menghentikan pengujian nuklir angkasa dan bawah tanah, begitu juga dengan kampanye menghentikan penangkapan ikan paus besar-besaran. Pada tahun-tahun berikutanya, fokus organisasi mengarah ke isu lingkungan lainnya, seperti penggunaan pukat ikan, pemanasan global, industrialisasi dan rekayasa genetika.
I.2. LANDASAN TEORI
A. Teori Lingkungan
            Mungkin untuk saat ini teori tentang lingkungan merupakan suatu hal yang baru terdengar di beberapa tahun terakhir ini. Sebenarnya teori lingkungan sendiri merupakan suatu teori yang menginginkan keberlangsungan dan kelestarian alam yang saat ini kita miliki. Di era serba teknologi kini, semakin banyak manusia mulai mengabaikan kepentingan alam dan lebih mengutamakan kepentingan pribadinya sendiri. Tak heran jika ada beberapa orang mendominasi suatu wilayah dengan mengenyampingkan kepentingan sekelilingnya; baik itu alam maupun masyarakat sekitar.
            Teori lingkungan menurut Albert Schweitzer adalah sesungguhnya penghargaan yang harus dilakukan manusia tidak hanya pada diri sendiri saja, melainkan kepada semua bentuk kehidupan. Selain itu, Paul Taylor menyebutkan bahwa terdapat beberapa pokok pilar biosentrisme, yaitu[1]:
  • Manusia adalah suatu anggota dari komunitas, sama seperti makhluk hidup lainnya. Manusia bukan anggota komunitas yang dipandang sebagai segalanya, sebab ia memiliki kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, derajat manusia sama dengan makhluk lainnya.
  • Spesies manusia bersama spesies lain, membangun sebuah sistem yang saling bergantungan sedemikian rupa sehingga keberlangsungan dan keberadaan manusia tidak ditentukan oleh lingkungan fisik saja, tetapi juga ditentukan lingkungan biologis (spesies lainnya).
  • Semua organisme merupakan pusat kehidupan yang memiliki dunia dan tujuan tersendiri. Ia adalah untuk dalam mengejar kepentingannya melalui cara sendiri. Inilah yang sering dinyatakan sebagai komunitas moral.
B. Industrialisasi
Industrialisasi merupakan sebuah proses yang mengolah bahan-bahan baku menjadi sebuah barang yang bernilai dengan menggunakan mesin. Pada tingkatan Industrialisasi, terjadinya perubahan produksi yang awalnya dilakukan oleh manusia digantikan dengan mesin. Maria Hirszowicz (1981:1) mendefinisikan industrialisme merupakan suatu tahap baru dari organisasi sosial yang mana kehidupan manusia didominasi oleh produksi-produksi sosial[2].
Selain itu, industrialisasi merupakan sebuah wadah terhadap masyarakat-masyarakat kapitalis untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebelum revolusi industri terjadi di Eropa, masyarakat kapitalis meraup keuntungan melalui tanah-tanah yang mereka miliki yang kemudian digunakan oleh petani-petani miskin pada saat itu. Kehidupan pada saat itu dinamakan Feodalism, yaitu paham dimana masyarakat masih menggunakan tanah sebagai tempat mencari keuntungan. Namun sebaliknya, ketika terjadinya revolusi industri pada akhir abad 18 dan di awal abad 19, masyarakat sudah mulai mengenal peralatan-peralatan mesin yang mampu mempermudah kegiatan mereka. Oleh karenanya, masyarakat-masyarakat kapitalis pada saat itu yang awalnya merupakan pemilik tanah berganti dengan masyarakat kapitalis yang memiliki mesin.
Namun pada prosesnya, industrialisasi itu sendiri kurang bersahabat dengan lingkungan sekitar, bahkan terkadang menimbulkan bahaya. Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, industrialisasi merupakan sebuah proses produksi dengan menggunakan mesin. Mesin itu sendiri membutuhkan tenaga yang mampu menggerakkannya. Tenaga-tenaga yang digunakan oleh mesin terkadang cenderung tidak ramah terhadap lingkungan yang ada. Sebagai contoh, pabrik-pabrik yang menghasilkan suatu produk terkadang tidak menjalani etika-etika pada lingkungan; membuang limbah sembarangan dan membuat polusi udara sekitar.
B. New Social Movement
New Social Movement (NSM) mempunyai korelasi yang erat dengan postmaterialisme, yang merujuk pada suatu gerakan perubahan sosial untuk merubah identitas, gaya hidup dan budaya daripada perubahan secara spesifik di kebijakan publik ataupun perubahan ekonomi. Menurut F Parkin, salah satu teoritisi NSM dalam bukunya yang berjudul Middle Class Radicalism : 1968 bahwa aktor utama dalam pergerakan ini adalah kelas menengah. Para teoritisi gerakan ini percaya bahwa kelas menengah era sekarang seperti para akademisi mampu menjadi motor gerakan baru ini untuk mencapai tujuan dari mereka yang tidak percaya akan eksistensi globalisasi.
NSM sendiri memiliki karakter berbeda dari suatu organisasi yang formal pada umumnya, mereka hanya membutuhkan suatu jaringan sosial dari para pendukungnya daripada anggota kelompoknya sendiri. Seperti yang diungkapkan Paul Byrne, NSM relatif tidak terorganisir. Pada umumnya NSM kemudian memiliki satu isu utama yang menjadi basis pergerakan mereka dan biasanya lokal yang kemudian mereka bawa untuk merubah dan membawa efek dari perubahan mereka. NSM sendiri mengadopsi taktik dari suatu bentuk kampanye ketidak setujuan yang menjadi strategi mereka untuk membawa perubahan secara luas.
I.3. Permasalahan
            Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah:
Bagaimana perjuangan Greenpeace dalam mengkampanyekan isu lingkungan global?
I.4 Metode
            Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka melalui buku-buku dan website-website yang terkait dengan isi makalah.













BAB II
ANALISIS
            Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, industrialisasi bagi kelestarian lingkungan sekitar sangat berbahaya. Para pemilik modal, dalam melakukan industrialisasi, banyak memangkas berhektar-hektar hutan untuk membangun sebuah pabrik. Hal ini mengakibatkan semakin lama populasi hewan dan tumbuhan di dunia semakin berkurang serta kerusakan hutan semakin bertambah.
No.
Wilayah yang Mengalami Kerusakan Hutan
Presentase Kerusakan
1.
Afrika Barat dan Afrika Timur
72%
2.
Afrika Tengah
45%
3.
Amerika Tengah Amerika Selatan
37%
4.
Asia Selatan (Anak Benua India)
63%
5.
Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina)
38%
Tabel 1.2
Kerusakan Hutan di Dunia (Tahun 1999)[3]
            Berdasarkan hasil survey di atas, terlihat bahwa pada tahun 1999 hutan-hutan yang ada hampir di seluruh dunia mengalami kerusakan. Kerusakan hutan yang paling banyak berada pada Negara Afrika Barat dan Afrika Timur. Para pemilik modal lebih banyak memusatkan industrialisasi di Negara tersebut dikarenakan Afrika Barat dan Afrika Timur memiliki sumber daya alam yang tak terhingga, terlebih intan (sampai mereka dijuluki ‘Black Diamond’). Tak heran jika para pemilik modal lebih tertarik untuk menginvestasikan usahanya di Negara tersebut.
            Akan tetapi, maraknya pembangunan pabrik-pabrik baru tersebut justru banyak merusak bahkan menghabiskan hutan-hutan yang ada di sana. Seharusnya pemerintah Afrika mampu mengimbangi pesatnya pembangunan pabrik dengan populasi hutan yang ada di Afrika. Jika maraknya pembangunan tidak diseimbangi dengan populasi hutan yang ada, justru bencana yang akan datang.
            Jika semakin lama semakin banyak populasi hutan yang banyak ditebang dan rusak maka kita akan merasakan pemanasan global atau global warming secara langsung, dikarenakan bumi tidak lagi memiliki penghirup udara-udara kotor yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik dan teknologi-teknologi hasil industri lainnya.
            Pemanasan global sendiri sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup semua makhluk yang ada di bumi. Di abad ke-21, seperti yang kita rasakan saat ini, pemanasan global telah membawa beberapa perubahan bagi kelangsungan hidup makhluk-makhluk yang ada di bumi. Sebagai contoh, mencairnya es di Kutub Utara, perubahan musim yang tidak dapat diprediksikan, panasnya suhu udara, peningkatan hujan dan banjir dan lain sebagainya.
            Kerusakan hutan dan pemanasan yang berlaku saat ini, merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup makhluk yang ada di bumi. Oleh karena itu muncul suatu organisasi independen, yang berdiri sendiri, yang mengikuti isu-isu lingkungan demi memelihara keberlangsungan hidup ekosistem yang ada di bumi, Greenpeace.
Greenpeace adalah organisasi kampanye global yang bertindak untuk mengubah sikap dan perilaku, untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dan mempromosikan perdamaian melalui[4]; membuat sebuah revolusi energi untuk mengatasi ancaman nomor satu yang dihadapi planet kita: perubahan iklim, menjaga laut kita dengan menantang perikanan boros dan merusak, dan menciptakan jaringan cadangan laut global, melindungi hewan-hewan dan hutan alam di dunia, tumbuhan dan orang-orang yang bergantung pada mereka, bekerja untuk pelucutan senjata dan perdamaian dengan menangani penyebab konflik dan menyerukan penghapusan semua senjata nuklir, menciptakan masa depan yang bebas racun dengan alternatif manufaktur yang lebih aman untuk bahan kimia berbahaya dalam produk saat ini, kampanye untuk pertanian berkelanjutan dengan menolak organisme rekayasa genetika, melindungi keanekaragaman hayati dan mendorong tanggung jawab pertanian sosial.
            Pada umumnya industrialisasi dalam menghasilkan suatu barang produksi cenderung tidak memperhatikan keadaan dan kesehatan lingkungan sekitar. Banyak norma-norma lingkungan yang dilanggar dengan tujuan keuntungan semata. Manusia dan alam merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dan yang lainnya, masing-masing memiliki fungsi yang saling memenuhi fungsi lainnya, simbiosis mutualisme. Apabila terjadi ketidak seimbangan antara manusia dan alam, maka banyak kerusakan-kerusakan yang akan merugikan lingkungan hidup kita.
Dalam kasus ini, Greenpeace merupakan salah satu New Social Movement (NSM) dikarenakan isu utama yang menjadi perbincangan mereka adalah isu tentang lingkungan  yang dilakukan dalam bentuk kampanye ketidak setujuan terhadap industrialisasi yang cenderung tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Isu lingkungan tersebut dibawa menjadi isu global dikarenakan setiap individu harus memperhatikan keadaan lingkungan sekita agar menjaga kelestarian hidup di masa yang akan datang.
BAB III
PENUTUP
            Saat ini, alam mulai tidak bersahabat dengan manusia. Banyak bencana-bencana yang mereka hadirkan kepada manusia, mulai dari pemanasan global, abrasi, erosi dan lainnya. Keseimbangan antara alam dan manusia sudah tidak terjaga lagi. Banyak populasi-populasi hutan, hewan, tumbuhan dan lainnya mengalami kepunahan. Hal ini dikarenakan manusia tidak lagi menjaga lingkungan sekitarnya. Manusia hanya mencari keuntungan individu semata tanpa memperhatikan hak-hak lainnya, dalam hal ini praktik industrialisasi.
            Greenpeace muncul untuk mengkampanyekan isu-isu lingkungan dengan tujuan menyadarkan kembali manusia-manusia yang tidak lagi memperdulikan lingkungan sekitar. Banyak daerah-daerah yang dulunya dipenuhi dengan pepohonan, kini menjadi dataran yang gundul. Banyak populasi-populasi flora dan fauna yang hidup, kini banyak pula yang semakin terancam kepunahan.
Untuk menjawab pertanyaan permasalahan tentang bagaimana perjuangan Greenpeace dalam mengkampanyekan isu lingkungan, Greenpeace sendiri merupakan salah satu organisasi besar yang mengkampanyekan isu tentang lingkungan. Isu lingkungan merupakan salah satu hal yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Karena, semakin hari semakin banyak permasalahan lingkungan yang kita hadapi, semakin banyak orang yang tidak lagi mengingat pentingnya alam bagi kehidupan manusia.
Perjuangan Greenpeace tidak hanya sebatas Amerika saja. Terlihat dari banyaknya cabang-cabang Greenpeace yang tersebar di seluruh pelosok dunia. Karena, isu lingkungan yang dihadapi saat ini bukan menjadi masalah satu negara saja melainkan masalah semua negara. Karena, permasalah lingkungan merupakan masalah yang sangat penting untuk keberlanjutan hidup umat manusia. Dalam mengkampanyekan aksi kepeduliannya terhadap lingkungan, Greenpeace sendiri telah banyak menggagalkan dan menghentikan importasi limbah berbahaya, menentang pengiriman radioaktif, berkampanye melawan terhadap pembinasaan hutan, melobi pemerintah mengenai isu-isu energi berkelanjutan dan menyoroti bahaya limbah pembakaran.
















DAFTAR PUSTAKA
-          Martell, Luke, Ecology and Society a Introduction, Blackwell Publisher, Oxford: 1994
-          Dwi Susilo, Rachmad.K, Sosiologi Lingkungan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta:2008
-          Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, FE UI, Depok: 2004
DATA INTERNET
http://www.greenpeace.org/international/en/about/, diakses pada tanggal 18 Desember 2010 pukul 20:37


[1] Dwi Susilo, Rachmad K.,Sosiologi Lingkungan Hal 103
[2] Martell, Luke, Ecology and Society, hal 17
[3] Dwi Susilo, Rachmad K.,Sosiologi Lingkungan Hal 72

Genosida - - - Rwanda

Rwanda, 1994. Belum lagi usai dengan kasus pembersihan etnik yang merenggut ribuan nyawa di Balkan, masyarakat dunia kembali dikejutkan oleh genosida di Rwanda. Dalam hitungan 100 hari, lebih dari 800 ribu nyawa suku Tutsi dan orang-orang moderat suku Hutu tewas di tangan ekstremis suku Hutu[1]. Angka korban ini sungguh fantastis. Ada yang membandingkan, tingkat pembunuhan per hari dalam genosida di Rwanda, setidaknya lima kali jauh lebih banyak dari tragedi holocaust, pembantaian kaum Yahudi di kamp-kamp maut Nazi.
Konflik di Rwanda antara suku mayoritas Hutu (85% dari jumlah penduduk) dengan suku minoritas Tutsi memang telah berlangsung lama. Ada yang menyebut, sudah mulai dari tahun 1959. Konflik mulai kembali merebak sekitar tahun 1990-an ketika suku Tutsi di pengungsian yang membentuk Front Patriotik Rwanda (RPF) memasuki dan menduduki sebagian Rwanda. Eskalasinya makin memuncak setelah ada perjanjian gencatan senjata, Agustus 1993. Gencatan senjata ini kemudian diawasi oleh pasukan PBB yang tergabung dalam United Nations Assistance Mission to Rwanda (UNAMIR), khususnya dari Belgia.
Gelagat akan adanya serangan terorganisir oleh elemen-elemen suku Hutu terhadap suku Tutsi sebenarnya sudah tercium ketika suku Hutu garis keras membentuk kelompok para-militer yang dinamakan Interhamwe. Para komandan PBB di lapangan kerap menerima informasi dari tentara-tentara bayaran yang melatih Interhamwe. Tujuan dari latihan itu adalah untuk membunuh para pemimpin Tutsi, kalangan politisi, dan hakim-hakim Hutu yang moderat. Setelah itu, akan diteruskan dengan suatu pembantaian secara sistematis terhadap orang-orang Tutsi.
Laporan rinci mengenai rencana pembantaian sistematis ini sebenarnya sampai di meja Kofi Annan, Sekjen PBB. Namun, PBB tetap tidak melakukan intervensi, bahkan sampai genosida itu terjadi, dan korban yang tewas sudah mencapai ratusan ribu. PBB pun tidak berbuat apa-apa meskipun pemerintah Rwanda sudah meminta PBB untuk bertindak. Bahkan sebuah komisi independen yang dipimpin Bengt Carlsson kemudian mengutuk para staff PBB karena gagal mengambil tindakan meskipun mereka mengetahui akan terjadi pembantaian. Komisi ini juga menuduh Inggris dan AS menolak mengakui pembunuhan yang terjadi sebagai genosida untuk menghindari kewajiban mereka di bawah Konvensi Genosida. Anggota Dewan Keamanan PBB yang perduli hanya Selandia Baru dan Republik Cheko. Sementara yang lainnya, seperti AS, memveto permasalahan ini.
Banyak pihak menilai, genosida di Rwanda ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya PBB mau bertindak untuk melakukan intervensi dari sejak awal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Konvensi Genosida[2]. Pada konteks ini, dipandang dari segi apapun, kasus di Rwanda adalah titik terendah kegagalan PBB dalam melakukan peranannya. Tidak hanya Majelis Umum PBB yang memalingkan muka dari terjadinya genosida ini, tetapi juga pasukan PBB yang dikirim ke wilayah ini turut bertanggung jawab terhadap sejumlah pembunuhan yang terjadi. Keterlibatan pasukan perdamaian PBB dalam sejumlah pembunuhan di Rwanda terungkap dari adanya bukti, pasukan perdamaian Belgia dan Ghana di Rwanda malah menyerahkan suku Tutsi yang seharusnya mereka lindungi kepada pasukan penembak Interhamwe.
Tak hanya di Rwanda, keterlibatan pasukan PBB dalam pembunuhan semacam ini pun terjadi juga di Srebrenica, saat pasukan perdamaian PBB dari Belanda malah menyerahkan ribuan pengungsi Muslim yang meminta perlindungan di kamp PBB kepada Jendral Ratko Mladic. Keterlibatan pasukan PBB dalam pembunuhan besar-besaran inilah yang kemudian melahirkan lelucon tentang pasukan perdamaian PBB: jika PBB telah ada di tahun 1939, maka kita semua akan berbicara dalam Bahasa Jerman.
PBB memang berusaha untuk “membayar” kegagalannya di Rwanda dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda [Internationan Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. S/RES/955 tahun 1994. Pengadilan ad hoc yang masih merupakan bagian dari Mahkamah Internasional Den Haag ini, berlokasi di Arusha, Tanzania.
ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang Rwanda di negara-negara tetangga selama tahun 1994. Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan genosida; pelanggaran Pasal 3 seluruh Konvensi Jeneva 1949 serta Protokol Tambahan II 1977; dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan yuridiksinya, ICTR telah mengadili sekitar 70 orang, termasuk Jean Kambanda, mantan Perdana Menteri Rwanda.
Cina, salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, menyatakan diri abstain dari keputusan tersebut. Rwanda, yang dipimpin Pemerintahan Tutsi dan saat itu menjadi salah satu anggota tidak tetap DK PBB, juga ikut menolak. Alasan Rwanda, pengadilan yang akan dibentuk dirasa tidak akan memiliki kekuatan untuk mengeksekusi ekstrimis Hutu. Pemerintah Rwanda memilih untuk menangkap dan mengeksekusi sendiri pelaku-pelaku pembantaian asal Hutu di depan umum. Penangkapan dan eksekusi itu dilakukan Rwandan Patriotic Front. Ini dilakukan sebelum dimulainya pengadilan internasional PBB di Arusha.
Dalam Konvensi Genosida disebutkan, genosida adalah “setiap perbuatan yang ditujukan untuk menghancurkan, baik keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau agama” (definisi yang sama dipakai juga di dalam Statuta Roma). Jika merujuk pada Konvensi Genosida itu, maka peristiwa di Rwanda itu memang sudah lebih dari cukup untuk bisa disebut sebagai genosida.
Genosida bukanlah barang baru dalam sejarah peradaban umat manusia. Kasus genosida di Rwanda tahun 1994, hanyalah satu dari sederet panjang daftar genosida yang pernah terjadi di berbagai zaman, di banyak negeri. Selain yang terjadi di Rwanda, genosida yang pernah terjadi di antaranya adalah genosida Armenia (pembunuhan orang-orang Armenia saat kekuasaan Turki Ottoman tahun 1915, yang sampai saat ini masih mengundang perdebatan dan kontroversi), pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi semasa Perang Dunia II (yang lebih dikenal dengan holocaust), pembunuhan terhadap sekitar 1,7 juta orang di Kamboja semasa rezim Pol Pot, dan pembersihan etnis dan umat muslim yang dilakukan oleh etnis Serbia sepanjang konfilk Balkan tahun 1991―1999.
Melihat dari dampak yang ditimbulkannya, menjadi sangat bisa dipahami jika masyarakat internasional (dalam hal ini, PBB) bersepakat untuk menyatakan bahwa genosida adalah kejahatan paling serius yang perlu diperhatikan (selain genosida, kejahatan paling serius lainnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi). Kejahatan ini pun dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat dan dipandang sebagai kejahatan internasional, yang tidak dapat dianggap semata-mata sebagai urusan domestik suatu negara. Oleh karena itu, untuk kejahatan ini diberlakukan yurisdiksi internasional.
Istilah pelanggaran HAM yang berat sering disandingkan pula dengan pelanggaran hukum humaniter internasional. Terkadang ada pula yang menyamakannya. Walaupun di antara keduanya terdapat keterkaitan satu sama lain, namun hukum HAM tidaklah identik dengan hukum humaniter. Yang sejalan dari keduanya adalah bahwa ketentuan hukum pelanggaran HAM yang berat dan hukum humaniter mempunyai tujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang fundamental. Pada konteks ini, hukum humaniter bisa digunakan untuk membantu menunjukkan dan menafsirkan kejadian pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi pada waktu sengketa bersenjata internasional maupun yang non-internasional, khususnya terhadap perbuatan yang merupakan tindakan militer ataupun perbuatan penggunaan tindak kekerasan.
PBB tentu memiliki sejumlah instrumen hukum (traktat, perjanjian, konvensi, kovenan, dan lain sebagainya.) yang dimaksudkan untuk mencegah―atau setidaknya bisa mengeliminir―kejahatan-kejahatan yang paling serius itu terus terjadi. Namun, PBB ternyata seringkali gagal untuk menerapkannya. Janji untuk melindungi harkat dan martabat umat manusia sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, dengan demikian, telah gagal pula untuk diwujudkan.
Kegagalan PBB untuk mewujudkan janji-janjinya tidak terlepas kaitannya dengan sistem PBB sendiri yang tidak dirancang―baik secara struktural maupun psikologis―untuk bisa mewujudkan janji-janji tersebut. Organ di PBB memang dapat membuat keputusan yang mengikat kepada anggotanya, namun hal itu tidak bisa berjalan jika tidak ada dukungan kekuatan dari Dewan Keamanan.
Dengan kata lain, ada konteks penguasaan realpolitic yang “bermain” di tubuh PBB, yang pada akhirnya terus menggerogoti kedaulatan negara dan prinsip netralitas petugas dan prosedur PBB itu sendiri. Hak veto yang dimiliki oleh negara-negara superpower anggota tetap Dewan Keamanan PBB, misalnya, seringkali dijadikan ancaman atau digunakan secara tidak konsisten dan sinis untuk berbagai krisis internasional yang terjadi. Hak veto tersebut telah menghilangkan otoritas moral Dewan Keamanan untuk menilai apa yang sebenarnya penting untuk bentuk ‘hukum’ manapun, baik secara nasional maupun internasional.




[1] http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide_in_rwanda.htm

[2] Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida), disetujui dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratifikasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (III), 9 Desember 1948. Pasal 8 konvensi tersebut menyebut: “Setiap Negara Peserta dapat meminta organ-organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berwenang untuk mengambil tindakan menurut Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti yang mereka anggap tepat untuk pencegahan dan penindasan perbuatan-perbuatan genosida atau setiap dari perbuatan-perbuatan lain apa pun yang disebutkan dalam pasal 3.”