Rwanda, 1994. Belum lagi usai dengan kasus pembersihan etnik yang merenggut ribuan nyawa di Balkan, masyarakat dunia kembali dikejutkan oleh genosida di Rwanda. Dalam hitungan 100 hari, lebih dari 800 ribu nyawa suku Tutsi dan orang-orang moderat suku Hutu tewas di tangan ekstremis suku Hutu[1]. Angka korban ini sungguh fantastis. Ada yang membandingkan, tingkat pembunuhan per hari dalam genosida di Rwanda , setidaknya lima kali jauh lebih banyak dari tragedi holocaust, pembantaian kaum Yahudi di kamp-kamp maut Nazi.
Konflik di Rwanda antara suku mayoritas Hutu (85% dari jumlah penduduk) dengan suku minoritas Tutsi memang telah berlangsung lama. Ada yang menyebut, sudah mulai dari tahun 1959. Konflik mulai kembali merebak sekitar tahun 1990-an ketika suku Tutsi di pengungsian yang membentuk Front Patriotik Rwanda (RPF) memasuki dan menduduki sebagian Rwanda . Eskalasinya makin memuncak setelah ada perjanjian gencatan senjata, Agustus 1993. Gencatan senjata ini kemudian diawasi oleh pasukan PBB yang tergabung dalam United Nations Assistance Mission to Rwanda (UNAMIR), khususnya dari Belgia.
Gelagat akan adanya serangan terorganisir oleh elemen-elemen suku Hutu terhadap suku Tutsi sebenarnya sudah tercium ketika suku Hutu garis keras membentuk kelompok para-militer yang dinamakan Interhamwe. Para komandan PBB di lapangan kerap menerima informasi dari tentara-tentara bayaran yang melatih Interhamwe. Tujuan dari latihan itu adalah untuk membunuh para pemimpin Tutsi, kalangan politisi, dan hakim-hakim Hutu yang moderat. Setelah itu, akan diteruskan dengan suatu pembantaian secara sistematis terhadap orang-orang Tutsi.
Laporan rinci mengenai rencana pembantaian sistematis ini sebenarnya sampai di meja Kofi Annan, Sekjen PBB. Namun, PBB tetap tidak melakukan intervensi, bahkan sampai genosida itu terjadi, dan korban yang tewas sudah mencapai ratusan ribu. PBB pun tidak berbuat apa-apa meskipun pemerintah Rwanda sudah meminta PBB untuk bertindak. Bahkan sebuah komisi independen yang dipimpin Bengt Carlsson kemudian mengutuk para staff PBB karena gagal mengambil tindakan meskipun mereka mengetahui akan terjadi pembantaian. Komisi ini juga menuduh Inggris dan AS menolak mengakui pembunuhan yang terjadi sebagai genosida untuk menghindari kewajiban mereka di bawah Konvensi Genosida. Anggota Dewan Keamanan PBB yang perduli hanya Selandia Baru dan Republik Cheko. Sementara yang lainnya, seperti AS, memveto permasalahan ini.
Banyak pihak menilai, genosida di Rwanda ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya PBB mau bertindak untuk melakukan intervensi dari sejak awal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Konvensi Genosida[2]. Pada konteks ini, dipandang dari segi apapun, kasus di Rwanda adalah titik terendah kegagalan PBB dalam melakukan peranannya. Tidak hanya Majelis Umum PBB yang memalingkan muka dari terjadinya genosida ini, tetapi juga pasukan PBB yang dikirim ke wilayah ini turut bertanggung jawab terhadap sejumlah pembunuhan yang terjadi. Keterlibatan pasukan perdamaian PBB dalam sejumlah pembunuhan di Rwanda terungkap dari adanya bukti, pasukan perdamaian Belgia dan Ghana di Rwanda malah menyerahkan suku Tutsi yang seharusnya mereka lindungi kepada pasukan penembak Interhamwe.
Tak hanya di Rwanda, keterlibatan pasukan PBB dalam pembunuhan semacam ini pun terjadi juga di Srebrenica, saat pasukan perdamaian PBB dari Belanda malah menyerahkan ribuan pengungsi Muslim yang meminta perlindungan di kamp PBB kepada Jendral Ratko Mladic. Keterlibatan pasukan PBB dalam pembunuhan besar-besaran inilah yang kemudian melahirkan lelucon tentang pasukan perdamaian PBB: jika PBB telah ada di tahun 1939, maka kita semua akan berbicara dalam Bahasa Jerman.
PBB memang berusaha untuk “membayar” kegagalannya di Rwanda dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda [Internationan Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. S/RES/955 tahun 1994. Pengadilan ad hoc yang masih merupakan bagian dari Mahkamah Internasional Den Haag ini, berlokasi di Arusha , Tanzania .
ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang Rwanda di negara-negara tetangga selama tahun 1994. Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan genosida; pelanggaran Pasal 3 seluruh Konvensi Jeneva 1949 serta Protokol Tambahan II 1977; dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan yuridiksinya, ICTR telah mengadili sekitar 70 orang, termasuk Jean Kambanda, mantan Perdana Menteri Rwanda .
Cina, salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, menyatakan diri abstain dari keputusan tersebut. Rwanda, yang dipimpin Pemerintahan Tutsi dan saat itu menjadi salah satu anggota tidak tetap DK PBB, juga ikut menolak. Alasan Rwanda, pengadilan yang akan dibentuk dirasa tidak akan memiliki kekuatan untuk mengeksekusi ekstrimis Hutu. Pemerintah Rwanda memilih untuk menangkap dan mengeksekusi sendiri pelaku-pelaku pembantaian asal Hutu di depan umum. Penangkapan dan eksekusi itu dilakukan Rwandan Patriotic Front. Ini dilakukan sebelum dimulainya pengadilan internasional PBB di Arusha.
Dalam Konvensi Genosida disebutkan, genosida adalah “setiap perbuatan yang ditujukan untuk menghancurkan, baik keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau agama” (definisi yang sama dipakai juga di dalam Statuta Roma). Jika merujuk pada Konvensi Genosida itu, maka peristiwa di Rwanda itu memang sudah lebih dari cukup untuk bisa disebut sebagai genosida.
Genosida bukanlah barang baru dalam sejarah peradaban umat manusia. Kasus genosida di Rwanda tahun 1994, hanyalah satu dari sederet panjang daftar genosida yang pernah terjadi di berbagai zaman, di banyak negeri. Selain yang terjadi di Rwanda, genosida yang pernah terjadi di antaranya adalah genosida Armenia (pembunuhan orang-orang Armenia saat kekuasaan Turki Ottoman tahun 1915, yang sampai saat ini masih mengundang perdebatan dan kontroversi), pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi semasa Perang Dunia II (yang lebih dikenal dengan holocaust), pembunuhan terhadap sekitar 1,7 juta orang di Kamboja semasa rezim Pol Pot, dan pembersihan etnis dan umat muslim yang dilakukan oleh etnis Serbia sepanjang konfilk Balkan tahun 1991―1999.
Melihat dari dampak yang ditimbulkannya, menjadi sangat bisa dipahami jika masyarakat internasional (dalam hal ini, PBB) bersepakat untuk menyatakan bahwa genosida adalah kejahatan paling serius yang perlu diperhatikan (selain genosida, kejahatan paling serius lainnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi). Kejahatan ini pun dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat dan dipandang sebagai kejahatan internasional, yang tidak dapat dianggap semata-mata sebagai urusan domestik suatu negara. Oleh karena itu, untuk kejahatan ini diberlakukan yurisdiksi internasional.
Istilah pelanggaran HAM yang berat sering disandingkan pula dengan pelanggaran hukum humaniter internasional. Terkadang ada pula yang menyamakannya. Walaupun di antara keduanya terdapat keterkaitan satu sama lain, namun hukum HAM tidaklah identik dengan hukum humaniter. Yang sejalan dari keduanya adalah bahwa ketentuan hukum pelanggaran HAM yang berat dan hukum humaniter mempunyai tujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang fundamental. Pada konteks ini, hukum humaniter bisa digunakan untuk membantu menunjukkan dan menafsirkan kejadian pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi pada waktu sengketa bersenjata internasional maupun yang non-internasional, khususnya terhadap perbuatan yang merupakan tindakan militer ataupun perbuatan penggunaan tindak kekerasan.
PBB tentu memiliki sejumlah instrumen hukum (traktat, perjanjian, konvensi, kovenan, dan lain sebagainya.) yang dimaksudkan untuk mencegah―atau setidaknya bisa mengeliminir―kejahatan-kejahatan yang paling serius itu terus terjadi. Namun, PBB ternyata seringkali gagal untuk menerapkannya. Janji untuk melindungi harkat dan martabat umat manusia sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, dengan demikian, telah gagal pula untuk diwujudkan.
Kegagalan PBB untuk mewujudkan janji-janjinya tidak terlepas kaitannya dengan sistem PBB sendiri yang tidak dirancang―baik secara struktural maupun psikologis―untuk bisa mewujudkan janji-janji tersebut. Organ di PBB memang dapat membuat keputusan yang mengikat kepada anggotanya, namun hal itu tidak bisa berjalan jika tidak ada dukungan kekuatan dari Dewan Keamanan.
Dengan kata lain, ada konteks penguasaan realpolitic yang “bermain” di tubuh PBB, yang pada akhirnya terus menggerogoti kedaulatan negara dan prinsip netralitas petugas dan prosedur PBB itu sendiri. Hak veto yang dimiliki oleh negara-negara superpower anggota tetap Dewan Keamanan PBB, misalnya, seringkali dijadikan ancaman atau digunakan secara tidak konsisten dan sinis untuk berbagai krisis internasional yang terjadi. Hak veto tersebut telah menghilangkan otoritas moral Dewan Keamanan untuk menilai apa yang sebenarnya penting untuk bentuk ‘hukum’ manapun, baik secara nasional maupun internasional.
[1] http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide_in_rwanda.htm
[2] Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida), disetujui dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratifikasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (III), 9 Desember 1948. Pasal 8 konvensi tersebut menyebut: “Setiap Negara Peserta dapat meminta organ-organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berwenang untuk mengambil tindakan menurut Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti yang mereka anggap tepat untuk pencegahan dan penindasan perbuatan-perbuatan genosida atau setiap dari perbuatan-perbuatan lain apa pun yang disebutkan dalam pasal 3.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar