Jumat, 21 Oktober 2011

Adat dan Agama Minangkabau - Sosiologi Agama


I.Upacara Semasa Remaja
            Upacara semasa remaja adalah serangkaian upacara-upacara yang ditujukan kepada anak yang sudah beranjak dewasa. Biasanya, upacara-upacara yang dilakukan ini bertujuan agar para remaja memiliki pegangan, ilmu dan agama, jika ia hendak pergi merantau. Upacara semasa remaja sangat diutamakan bagi anak laki-laki, karena anak laki-laki merupakan salah satu anggota keluarga yang paling banyak merantau. Upacara semasa remaja dapat dibedakan sebagai berikut[1]:
a.       Manjalang guru (menemui guru)
Manjalang guru (menemui guru) adalah kewajiban orang tua untuk mengantarkan anaknya menemui guru untuk menuntut ilmu, baik itu di bidang agama maupun adat. Anak atau keponakannya diserahkan untuk dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan yang diinginkan. Biasanya sebelum anak resmi diserahkan dan dititip di kediaman guru, anak akan melakukan balimau. Balimau adalah kegiatan mandi yang dibimbing oleh guru sebagai lambang bahwa anak didiknya dibersihkan lahirnya terlebih dahulu kemudian diisi batinnya dengan ilmu pengetahuan.
b.      Batutue (bertutur)
Batutue (bertutur) adalah anak didik mendapatkan pengetahuan dengan cara guru bercerita. Di dalam cerita terdapat pengajaran adat dan agama, mengaji adat istiadat. Di dalam pelajaran ini, anak didik mendapat pengetahuan yang berkaitan dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat.
c.       Mangaji halam jo haram (mengaji halal dan haram)
Mengaji halam jo haram (mengaji halal dan haram) adalah pengetahuan yang berkaitan dengan pengajaran agama. Mengaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah baso, yaitu pengajaran yang berkaitan dengan adat istiadat dan moral.
Adat merupakan hukum kebiasaan, aturan sopan santun (tata krama), kesusilaan, dan rasa kepatutan dalam masyarakat[2], sedangkan agama merupakan  sumber untuk menemukan asal, hakekat dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk merealisasikan diri dalam kehidupan, dan budaya adalah sarana untuk mendapatkan nilai kehidupan di dunia[3].
Dalam konteks agama dan adat di Minangkabau keduanya terlihat memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, simbiosis mutualisme. Bagi masyarakat Minangkabau, agama merupakan suatu pegangan dan panutan bagi masyarakat, sedangkan adat merupakan penguat sistem yang ada di dalam agama. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, agama yang dianut adalah Islam. Tak heran jika orang Minang memiliki slogan, ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’, adat bersandar syara’, syara’ bersandar kitabullah (Al-Quran).
            Di dalam Islam, merupakan suatu kewajiban bagi setiap penganutnya untuk menuntut ilmu. Di dalam Islam sendiri, ilmu adalah pengetahuan yang tersebar di seluruh alam semesta yang mana setiap umat Islam wajib mencari pemahamannya sendiri untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Kewajiban umat Islam untuk menuntut ilmu pun tertuang di dalam peribahasa, yaitu ‘uthlabul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi’, tuntutlah ilmu dari mulai dalam buaian hingga ke dalam liang lahad.
            Kewajiban menuntut ilmu pun juga tertuang di dalam adat masyarakat Minangkabau, yaitu mengadakan upacara semasa remaja yang bertujuan agar remaja memiliki pegangan ilmu, baik itu ilmu agama dan adat. Tujuan para remaja menuntut ilmu adalah agar mereka memiliki pegangan hidup, yaitu ilmu agama dan adat, agar mereka memiliki ilmu ketika mereka berada di perantauan.
II.Upacara Kematian
            Upacara kematian di dalam adat Minangkabau adalah suatu persembahan terakhir kepada orang yang meninggal. Upacara kematian tidak hanya menjadi adat di dalam adat Minangkabau melainkan juga kewajiban bagi seluruh umat Muslim di dunia. Upacara kematian dapat dibedakan sebagai berikut[4]:
  1. Memandikan jenazah
Memandikan jenazah adalah kegiatan yang melambangkan agar jenazah bersih dari segala hadas, kotoran, dan dosa-dosa yang dilakukan semasa jenazah hidup.
  1. Menyolatkan jenazah
Adalah persembahan shalat terakhir bagi jenazah yang dilakukan secara berjamaah. Shalat terakhir ini ditujukan kepada jenazah sebagai wujud kegiatan keagamaan terakhir bagi jenazah.
  1. Mengantarkan jenazah ke liang lahat
Ritual ini sama halnya dengan memakamkan jenazah ke dalam liang lahat, dan disaksikan oleh orang-orang yang mengantarkannya. Ritual ini juga ditujukan kepada orang-orang yang menyaksikan prosesi memakamkan jenazah agar yang menyaksikan selalu mengingat kematian.
  1. Ta’ziah
Pergi melayat (ta’ziah) ke rumah orang yang meninggal merupakan adat bagi orang Minangkabau. Tidak hanya karena dianjurkan ajaran Islam, tapi juga karena hubungan kemasyarakatan yang sangat akrab membuat mereka malu bila tidak datang melayat.
  1. Peringatan
Selanjutnya ada pula acara peringatan, seperti peringatan tujuh hati (manujuah hari), peringatan duo puluah satu hari, peringatan hari ke-40, lalu peringatan pada hari yang ke-100 (manyaratuih hari)[5].
Slogan ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’, adat bersandar syara’, syara’ bersandar kitabullah (Al-Quran), selalu menjadi pegangan jika kita berbicara mengenai adat dan agama pada masyarakat Minang. Adat dan agama seakan tidak dapat terpisahkan bagi sebagian besar masyarakat Minang, karena keseharian perilaku yang dilakukan oleh masyarakat Minang pada umumnya sangat berkaitan dengan agama Islam pula.
Menurut Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma, ritus, dan seremoni[6]. Selanjutnya Durkheim juga menambahkan bahwa agama merupakan institusi yang menjaga integrasi dan solidaritas sosial, melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga merupakan wujud dari religious effervescence, ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya.
Dengan menggunakan konsep religious effervescence yang dikemukakan oleh Durkheim, terlihat bahwa masyarakat Minang menciptakan ritual upacara kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Ritual upacara bagi orang yang telah meninggal dunia merupakan wujud persembahan orang-orang yang sedang hidup kepada orang yang telah meninggal dunia. Prosesi upacara kematian dapat terlihat dari beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas. Selanjutnya, dengan adanya ritual yang sengaja diciptakan tersebut, upacara kematian, maka muncul collective counciousness, kesadaran kolektif, kepada setiap masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Collective counciousness dalam prosesi upacara kematian dapat terlihat ketika pertama kali mayat dimandikan. lalu kesadaran kolektif tersebut semakin terlihat ketika memasuki prosesi dishalatkannya jenazah, menggotong jenazah hingga menguburkannya, menyaksikan penguburan jenazah, ta’ziah, serta peringatan yang diulang di hari ke 40, hari ke 100.
Daftar Referensi:
BUKU:
-          Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu
-          Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
-          Prof. Dr. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cetakan ke 20, 2004, Jakarta: Djambatan
Internet:
-          http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/2-upacara-adat.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.52
-          http://ukm.itb.ac.id/adat-budaya/upacara-upacara-adat-minangkabau/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.46


[1] http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/2-upacara-adat.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.52
[2] Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[3] Ibid, bahan MK Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[4] http://ukm.itb.ac.id/adat-budaya/upacara-upacara-adat-minangkabau/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.46
[5] Namun, di dalam bukunya Prof. Dr. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, dikatakan bahwa dulunya peringatan bagi orang yang sudah meninggal diulang hingga hari ke-1000. Mungkin budaya 1000 hari tersebut telah terkikis seiring dengan berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat Minang.
[6] Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu, hal.73

Adat dan Agama Bali - Sosiologi Agama


Artikel I:
Upacara Ngaben
            Menurut kepercayaan umat Hindu Bali, upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan ketika seseorang meninggal dunia. Ketika manusia meninggal dunia, maka atma (roh) secara langsung terpisah dengan jasad atau badan. Badan manusia terdiri dari 3 wujud, yaitu badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakkan oleh atma (roh)[1].
            Upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, merupakan upacara penyucian atma (roh) saat meninggalkan badan kasar. Karena, dengan dilaksanakannya Ngaben orang yang sudah meninggal terbebas dari ikatan-ikatan duniawiah ketika menuju surga, atau justru hidup kembali ke dunia melalui reinkarnasi, suatu konsep yang menyatakan bahwa seseorang yang sudah mati akan dilahirkan kembali dalam kehidupan yang lain.
            Di dalam upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, terlihat adanya sebuah relasi atau hubungan antara adat dan agama. Menurut Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma, ritus, dan seremoni[2]. Selanjutnya Durkheim juga menambahkan bahwa agama merupakan institusi yang menjaga integrasi dan solidaritas sosial, melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga merupakan wujud dari religious effervescence, ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya. Sedangkan adat merupakan hukum kebiasaan, aturan sopan santun (tata krama), kesusilaan, dan rasa kepatutan dalam masyarakat[3].
Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadikan adat sebagai tata-cara pelaksanaan ajaran agama Hindu. Bagi sebagian besar masyarakat Hindu Bali, adat dan agama merupakan dua buah komponen yang berbeda tapi memiliki keterkaitan satu sama lain. Agama merupakan  sumber untuk menemukan asal, hakekat dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk merealisasikan diri dalam kehidupan, dan budaya adalah sarana untuk mendapatkan nilai kehidupan di dunia[4].
Upacara pembakaran jenazah, atau Ngaben, secara sosiologis dapat diartikan sebagai sebuah eksistensi nilai-nilai keimanan masyarakat Hindu Bali terhadap ke-Tuhanan. Merujuk pada konsep religious effervescence yang dikemukakan oleh Durkheim, yaitu sebuah ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap anggotanya, Ngaben menjadi sebuah upacara adat untuk mempertemukan orang yang sudah meninggal dengan Sang Pencipta, yaitu Brahma. Brahma merupakan Tuhan yang suci. Untuk bertemu dengan Tuhan, maka setiap orang harus membersihkan dirinya terlebih dahulu. Proses pembersihan diri, untuk bertemu Tuhan, dinamakan oleh masyarakat Hindu Bali sebagai Ngaben, hingga sekarang menjadi suatu adat yang diwajibkan ketika seseorang meninggal dunia.
Di dalam proses pembakaran jenazah, Ngaben, terdapat sebuah kegiatan kolektif, yang digambarkan oleh Durkheim sebagai collective counciousness, yaitu kesadaran bersama. Ngaben seringkali menjadi kendala bagi masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Khusus untuk masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, mereka dapat melakukan Ngaben secara massal, atau bersamaan. Ngaben merupakan sebuah adat untuk pembersihan diri sebelum bertemu Brahma, masyarakat Hindu Bali yang berasal dari kalangan ekonomi kelas bawah secara sadar timbul inisiatif untuk bergotong royong menanggung biaya, tenaga, sajen, serta prosesi lainnya secara bersamaan.
Adat dan agama merupakan dua komponen dengan berbagai dimensi yang berbeda di antara keduanya. Namun, adat dan agama memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut terwujud ketika para penganutnya melakukan ritual, mitos-mitos, dogma, dan ritus untuk menjaga seluruh penganutnya agar terhindar dari segala keburukan-keburukan yang dapat menjerumuskan penganutnya ke jalan yang salah. Karena, eksistensi dari agama dan adat adalah membawa penganutnya ke jalan yang benar.
Artikel II:
Upacara Bhuta Yadnya
            Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Di dalam agama terdapat dogma, ritus, mitos, dan ritual yang dipercayai oleh penganutnya sebagai ajaran untuk mendapatkan kebenaran. Penganut dari suatu agama akan senantiasa melakukan ritual-ritual tertentu sebagai wujud ketaatan dan kepatuhannya terhadap suruhan Tuhan.
            Bali, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu, khususnya Hindu Bali. Di dalam ajaran Hindu Bali terdapat berbagai macam ritual yang harus dilakukan oleh penganutnya sebagai umat yang taat kepada perintah Tuhan. Tak heran, jika hampir disetiap jalanan atau tempat banyak ditemui sajen yang sengaja ditaruh sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan.
            Kegiatan beragama umat Hindu Bali diperkuat dengan adanya sistem adat di dalam masyarakat Bali. Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah[5]. Sebagai contoh, umah Hindu Bali sering menggelar Upacara Bhuta Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala agar jangan mengganggu ketentraman manusia di dunia[6].
            Upacara Bhuta Yadnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Yaitu:
  1. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan kecil seperti segehan dan yang setingkat. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil/segehan. Dengan banten atau sesajen lauk pauknya yang sangat sederhana terdiri dari Bawang merah, Jahe, Garam dll. Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.
  2. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan sedang (madya) yang disebut caru. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang sedang/madya. Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan Caru . Pada tingkatan ini selain mempergunakan banten/sesajen lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis caru tersebut adalah Caru ayam berumbun (dengan satu ekor ayam), Caru panca sata (caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
  3. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar (utama). Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar/utama.Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali, atau Dharma Dan).
Secara sosiologis, upacara Bhuta Yadnya merupakan sebuah religious effervescence. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, religious effervescence merupakan ritual agama yang sengaja dibuat untuk penganutnya. Religious effervescence dikuatkan eksistensinya di dalam kehidupan masyarakat melalui sistem adat, seperti melakukan upacara Bhuta Yadnya sebagai pengorbanan/persembahan terhadap Butha, alam semesta ciptaan Hyang Widhi[7], yang dilakukan rutin sebelum mengadakan upacara adat yang lebih besar. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Hindu Bali mempercayai bahwa setiap orang yang ingin membuat upacara-upacara yang bersifat besar harus membuat upacara kecil terlebih dahulu sebagai wujud terima kasih kepada Butha agar Butha senantiasa menjaga ketentraman dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan.

Bahan referensi:
1.      Buku
Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu
2.      Referensi lainnya
-          http://info.indotoplist.com/?YldWdWRUMWtaWFJoYVd3bWFXNW1iMTlwWkQweU5UST0=a, diunduh pada tanggal 1 Oktober, pukul 21:55
-          http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-bhuta-yadnya, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2011, pukul 22:06
-          Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
-          Catatan Mata Kuliah Teori Sosiologi II


[2] Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu, hal.73
[3] Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[4] Ibid, bahan MK Sosiologi Agama tanggal 28 September 2011
[5] Catatan MK Sosiologi Agama pada tanggal 28 September 2011
[6] http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-bhuta-yadnya, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2011, pukul 22:06
[7] http://stitidharma.org/upacara-bhuta-yadnya/, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2011, pukul 21:46

Hak dan Kewajiban Warga Negara


Warga negara, politik dan hak-hak sosial yang dibuat oleh elemen-elemen yang berbeda dari hak dan kewahiban warga di zaman modern telah menjadi ‘urutan cerita luka’, atau ‘wound into a single thread’, di bawah konstitusi feodal. Percampuran hak-hak kaum feodal merefleksikan kohabitasi di dalam masyarakat dan fungsi politik di dalam institusi yang bersifat feodal (Marshall, 1950:72). Dari pemaparan yang dijelaskan oleh Marshall, di zaman yang bersifat feodal seperti saat ini hak-hak warga negara, politik dan hak sosial lainnya tidak lagi dipertahankan oleh negara. Kini negara hanya menjadi ‘watchdog’, pengamat, di negeri nya sendiri. Mengapa hal tersebut terjadi? Karena, banyak dari kaum feodal masuk ke dalam sistem negara. Sistem negara yang seharusnya berpihak kepada orang banyak, justru terdapat konflik kepentingan antar kelompok berkuasa di dalamnya.
i.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai warga negara, alangkah baiknya kita memahami pengertiannya terlebih dahulu. Warga negara dapat dikarakteristikkan sebagai seperangkat status dan hak. Pertemuan antara status dan hak tidaklah terjadi secara kebetulan. Pertemuan tersebut akan terlihat ketika terjadi kepentingan politik yang diperoleh dari status secara sosial.
Dalam hal yang paling umum hak merupakan sesuatu yang sangat penting, karena mereka melekat di dalam diri seseorang baik itu secara legal maupun status ‘conventional’. Karenanya, seseorang seharusnya memiliki kapabilitas maupun kesempatan di dalam beraksi – kekuatan – sebagai konsekuesi dari status yang mereka miliki. Status seseorang menunjukkan apa yang dapat dilakukannya, dan kemampuan apa yang dimilikinya.
Status yang dimiliki oleh seseorang sangat berpengaruh di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa setiap orang memiliki status, baik itu yang disahkan secara legal, maupun secara kharismatik. Dalam berinteraksi dengan sesama, orang akan terlebih dahulu melihat dengan siapa dia berinteraksi, topik apa yang harus dibicarakan dengan orang yang memiliki karakteristik tertentu, sikap yang bagaimana yang harus ditunjukkan saat berhadapan dengan seseorang, dan beberapa contoh lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu, sebelum melakukan interaksi dengan yang lainnya, akan melihat status yang dimiliki oleh ‘lawan’nya terlebih dahulu.
Hal ini juga terjadi di dalam sistem hukum. Status yang dimiliki seseorang juga menentukan konsekuensi apa yang akan didapatkannya di dalam sistem hukum, atau bahkan memanipulasi hukum. Sistem hukum sering dimanipulasi oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas status yang lebih tinggi, sehingga status mereka sangat berpengaruh di dalam hukum. Suatu hal yang memang sangat menarik di dalam kacamata dunia, dimana orang yang memiliki status tinggi dapat mengatur sistem hukum yang telah ditetapkan oleh hukum legal. Ini merupakan salah satu contoh konkrit dari fenomena sosial yang melihat aspek status di dalam hukum legal.
Status, ditekankan kepada fakta yang merupakan ekspektasi (sesuatu yang bersifat nofmatif) yang ada di dalam kelompok sosial (Marshall, 1954: 203). Tindakan sosial seseorang dapat ditentukan oleh status yang mereka miliki, apa yang boleh mereka kerjakan dan apa yang tidak boleh mereka kerjakan. Ekspektasi normatif dari status tidak hanya bertahan tetapi juga sebagai ‘cermin’ dari hak dan kapasitas yang terlekat di dalam diri seseorang.  Yang dimaksud dengan ‘cermin’ disini adalah status yang dimiliki dapat menentukan perilaku apa yang dapat ia lakukan, sama halnya dengan perilaku yang akan dilakukan oleh seseorang harus ditentukan dengan status yang ia miliki pula.
Hak dapat diartikan sebagai batasan – batasan alamiah dari aturan sosial. Marshall (1950:111) menambahkan bahwa hak adalah ketetapan – ketetapan minimal dari kemampuan dan pemberian hak secara sosial.
ii
            Bryan Turner (1986: 11, 100), percaya bahwa hukum hewan memodifikasi hukum alam kewarganegaraan. Marshall (1950: 81) di sisi lain para demonstran memberikan  hak-hak bagi orang – orang yang ter’eksklusi’ dari status kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan membatasi otoritas tertinggi negara. H. R. G. Greaves (1966: 185) mengatakan bahwa hak kewarganeraan sebaiknya menjadi tanggung jawab kepada setiap anggotanya.
            Negara merupakan aktor yang memiliki fungsi menjaga dan bertanggung jawab terhadap hak – hak warga negaranya. Warga negara tidak memiliki kewenangan atau kekuatan yang besar dalam menjaga hak – hak yang mereka miliki.  Bukti konkrit negara dalam menjaga dan bertanggung jawab terhadap hak – hak warga negaranya adalah membuat undang – undang yang pro terhadap kepentingan banyak orang. Salah satu kepentingan yang harus dimiliki oleh setiap warga negara adalah ‘hak untuk hidup’. ‘hak untuk hidup’ bagi setiap warga tertuang di salah satu pasal di dalam UUD 1945, yang  menyatakan bahwa setiap orang miskin, anak jalanan, dan lainnya, ditanggung oleh negara, dan masih banyak pasal – pasal lainnya yang mengandung isi untuk menjaga warga negaranya.
            Hak – hak yang harus dimiliki oleh setiap warga tidak hanya hak properti dan hak perjanjian, melainkan juga hak untuk bebas berpikir atau berpendapat, hak untuk bebas berbicara, hak untuk bebas beragama, dan hak untuk berkumpul dan berasosiasi dengan sesama. Sama halnya dengan beberapa macam kebebasan yang didefinisikan oleh Rosevelt, yaitu kebebasan untuk berpikir, bebas dari rasa lapar, bebas beragama dan bebas berbicara. Beberapa macam hak yang dikemukakan di atas merupakan hak wajib yang harus dimiliki oleh setiap orang. Seseorang dapat dikatakan belum merdeka jika salah satu hak mereka masih belum dapat terpenuhi. Sebagai contoh, anak jalanan yang sering ngamen di sepanjang jalan belum merdeka jika hak nya untuk mendapatkan pendidikan belum tercapai. Namun, hal ini sungguh sulit diterapkan di dalam sistem  kenegaraan, dalam lingkup yang lebih luas. Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah, bagaimana negara dapat menjamin hak dari seluruh warganegaranya?
            Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa setiap orang wajib mendapatkan haknya, yakni hak untuk hidup, hak untuk bebas beragama, hak untuk bebas berbicara, dan hak untuk bebas berpikir. Dari keempat hak tersebut, hak yang paling mendasar yang wajib dimiliki oleh setiap orang adalah hak untuk hidup. Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana negara dapat menjamin hak dari seluruh warganya? Dalam hal ini, negara membuat sebuah sistem dimana setiap orang yang memiliki penghasilan wajib menyisihkan sebagian penghasilan tersebut kepada negara. Sistem tersebut adalah pajak. Negara mengatur pajak setiap warga negaranya, dengan tujuan membedakan pajak yang dikeluarkan oleh seseorang tergantung kemampuan ekonominya. Pajak yang telah terkumpul nantinya akan didistribusikan untuk kepentingan banyak orang, baik itu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga bagi orang yang tidak mampu, atau membangun infrastruktur dan sarana bagi warga, serta memberikan bantuan – bantuan lainnya dengan tujuan mensejahterkan setiap warganya.
            Marshall (1950: 87) mengatakan bahwa, ‘civil rights were essential to a competitive market economy because they gave to each person ‘the power to engage as an independent unit in the economics struggle’ is  followed by his observation that for this reason civil rights ‘made it possible to deny social protection on the ground that [a person] was equipped with the means to protect himself’. Apa yang dipaparkan oleh Marshall terjadi pada kehidupan saat ini, dimana setiap orang harus memiliki ‘kekuatan’ untuk berjuang mempertahankan ekonomi mereka, yang merupakan hak – hak warga sipil, yang artinya berjuang untuk melindungi diri mereka.
iii
            terdapat banyak kompleksitas dalam membicarakan hubungan antara elemen – elemen dari ‘citizenship’ di dalam diskusi mengenai hak atau kewajiban industri. Seringkali terjadi pergesekan – pergesekan antara pekerja dan industri dalam hal hak dan kewajiban di antara keduanya. Industri terlihat lebih sering memberikan kebijakan – kebijakan yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan dari para pekerjanya. Marshall menambahkan bahwa sesungguhnya di dalam hubungan industrial antara pekerja dan industri terdapat beberapa kepentingan, seperti masyarakat sipil (civil society), politik dan kewajiban sosial.
            Dalam hal ini, negara ini memiliki fungsi politik, menjadi regulator, dalam menjaga hubungan antara industri dan pekerjanya.  Hak – hak pekerja dituangkan di dalam Undang – undang Negara. Namun, seringkali industri tidak mengindahkan hak – hak pekerja, padahal negara sudah me-legalkan aturan tertulis mengenai hak – hak para pekerja, melalui kebijakan – kebijakan industri. Ketika kepentingan industri banyak bersinggungan dengan kepentingan pekerja, maka pekerja biasanya akan melakukan perjuangan. perjuangan tersebut dapat terlihat ketika kaum ‘woking class’ berjuang untuk mempertahankan hak mereka di dalam industri, yang mana industri merupakan pemegang utama atas hak – hak dari setiap pekerjanya dalam  menentukan upah, jam kerja, tunjangan kerja, dan lain sebagainya.
Karl Marx pun turut menyumbangkan pemikiran di dalam hubungan industrial antara pabrik dengan pekerja. Ia berpendapat bahwa di dalam hubungan industri antara pemilik dan pekerja, seringkali kaum pekerja dirugikan oleh kaum pemilik – dalam hal ini kebijakan – kebijakan industri tidak pro terhadap pekerja. Bagi kaum pekerja yang merasa kebijakan industri sesuai dengan kepentingannya, tidak menyadari hal tesebut, maka ia tergolong ke dalam ‘class in it self’, sebagaimana yang digambarkan oleh Marx. Namun berbeda halnya bagi kaum pekerja yang merasa kebijakan industri tersebut tidak sesuai dengan kepentingannya, menyadari hal tersebut, maka ia tergolong ke dalam ‘class for it self’, sebagaimana yang digambarkan oleh Marx pula. Bagi kelompok yang tergolong ke dalam ‘class for it self’, maka di antara sesama mereka akan muncul ‘class consciousness’, kesadaran kelas. Kesadaran kelas terwujud ketika sekelompok orang melakukan demonstrasi terhadap pemilik pabrik, biasanya para pekerja melakukan mogok dan lain sebagainya. Hal tersebut menggambarkan bahwa kaum pekerja menginginkan perundingan dengan pemilik pabrik tersebut. Dari perundingan tersebut terciptalah ‘collective bargaining’, perundingan kolektif, dimana dari kedua kubu – antara pemilik dan pekerja – menyepakati kebijakan -  kebijakan yang tidak berat sebelah, atau merugikan salah satu pihak.
iv
            Hubungan antara komponen yang berbeda di dalam ‘citizenship’ terlihat sangatlah kompleks. ‘civil rigths’, hak – hak sipil, sangat penting di dalam pondasi ekonomi kapitalis, tetapi juga menentukan kesempatan bagi para pekerja untuk menantangnya. Kebijakan industrial mencoba bertentangan hak – hak sipil dan juga terhadap kepemilikan dan kontrak dengan pekerjanya; tapi di satu sisi membantu mengatur upah pekerja dan menentukan keamanan di dalam pekerjaan, mereka juga berfungsi untuk menstabilkan  komoditas pasar dan hubungan industrial. Hubungan logik dari kedua tipe ‘right’ yang berbeda ini adalah mereka memiliki hubungan antara yang satu dengan lainnya dan merupakan refleksi hubungan sosial di dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. 

Inequality of What?


Mencari solusi dari kesenjangan ekonomi dan sosial menimbulkan banyak dilema. Ketidaksetaraan, atau kesenjangan, sering menjadi hal yang sulit dibedakan di dalam ‘keadilan’. Adam Smith memberikan perhatian pada kepentingan masyarakat miskin (yang kepentingan mereka sering diabaikan) yang secara alamiah sering dianggap sebagai ‘impartial spectator’- penyelidikan langsung yang menawarkan pengetahuan tentang keadilan sosial. sama halnya dengan ide John Rawls keadilan, ketidaksetaraan di dalam masyarakat juga sulit dibenarkan ‘kewajarannya’ di dalam anggota masyarakat yang sebenarnya. Menurut John Rawls, ketidaksetaraan itu sendiri menimbulkan dilema tertentu ketika masyarakat mencoba menafsirkannya sendiri di dalam anggota masyarakat.
            Kesenjangan sosial terkadang dapat mengikis kohesi sosial, kedekatan secara sosial. beberapa bentuk kesenjangan dapat menciptakan tindakan yang tidak berarti apa-apa. Konflik sosial yang sering muncul di dalam kesenjangan dapat dicontohkan ketika seseorang yang memiliki keadaan ekonomi menengah ke bawah bermukim di sekitar pemukiman ekonomi menengah ke atas. Kesenjangan dapat terlihat dari bentuk luas tanah, bentuk rumah, eksterior rumah, dan lain sebagainya.
            Kesenjangan sosial selalu meliputi setiap aspek yang ada di dalam kehidupan masyarakat modern, dimana setiap orang dituntut untuk memiliki spesialisasi-spesialisasi tertentu. Spesialisasi di dalam masyarakat modern saat ini, dapat menentukan seseorang berada pada ‘ranking’ ekonomi tertentu. Sebagai contoh, ‘ranking’ masyarakat yang berasal dari ekonomi kelas menengah dapat dilihat melalui kondisi kesehatannya.




Unemployment and Capability Deprivation
            Kesenjangan, jika kita berbicara dalam lingkup pendapatan, sangat berbeda keterkaitannya di antara keduanya. Sedangkan kapabilitas, atau kemampuan, akan lebih mudah diilustrasikan dengan menggunakan contoh-contoh yang bersifat praktis. Di dalam konteks negara Eropa, perbedaan ini merupakan hal yang tidak mudah untuk dibandingkan, karena merupakan hal yang umum bagi sebagian besar pengangguran Eropa yang bersifat kontemporer. Kehilangan pendapatan merupakan konsekuensi dari tidak bekerja, atau pengangguran. Hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh pengangguran, hingga batas tertentu, dapat dikompensasi dengan dukungan pendapatan (termasuk tunjangan pengangguran), yang biasanya terjadi di Eropa Barat. Jika kehilangan penghasilan semua yang terlibat dalam pengangguran, maka kerugian yang dapat  sebagian besar terhapus – bagi individu yang terlibat - oleh dukungan penghasilan (ada,tentu saja, masalah lebih lanjut dari biaya sosial dari beban fiskal dan insentif efek yang terlibat kompensasi ini). Sebagai contoh, Eropa Barat termasuk salah satu negara yang menjamin kehidupan setiap warganya, baik dalam hal pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Bahkan, orang yang tidak bekerja pun mendapatkan jaminan ekonomi dari negara, yaitu dengan memberikan tunjangan pengangguran. Secara administratif, seorang yang tidak memiliki pekerjaan akan mendapatkan keuntungan yang dijamin oleh negara. Namun, seorang yang tidak memiliki pekerjaan justru mendapatkan masalah yang lebih besar daripada pajak dan biaya kehidupan lainnya, yaitu masalah sosial. seseorang yang tidak memiliki pekerjaan mempunyai efek yang berat bagi kehidupan individual, yaitu kehilangan  faktor lain, secara individual, maka perbaikan pendapatan akan mempengaruhi masalah individual seseorang yang tidak memiliki pekerjaan. Terdapat banyak bukti bahwa orang yang tidak bekerja memiliki masalah yang lebih banyak dibandingkan hilangnya pendapatan, yaitu permasalahan psikologi, kehilangan motivasi kerja, kehilangan skill dan percaya diri, meningkatnya penyakit dan ‘morbidity’ (tingginya angka kematian), kekacauan hubungan rumah tangga dan lingkungan sosial, meningkatkan eksklusi sosial, semakin ketegangan antar ras dan jender.

Historical Perspective On Inequality


Bicara mengenai kesenjangan dan eksklusi sosial, seringkali dikaitkan dengan ketimpangan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi meliputi seluruh aspek dalam masyarakat, seperti ras dan etnik minoritas, perempuan, agama kepercayaan, dan beberapa kategori sexual lainnya. Konsep kesenjangan dan eksklusi secara historis muncul pada tahun 70-an di Eropa, meliputi Inggris dan Amerika Utara.
            Dalam dunia kontemporer seperti yang kita alami sekarang, ketimpangan banyak dikaitkan dengan faktor ekonomi. Faktor ekonomi seakan-akan tidak bisa dipisahkan dalam konteks sosial saat ini. Karena, faktor ekonomi merupakan salah satu penentu kesejahteraan masyarakat. Di dalam handout tentang Historical Perspective On Inequality juga dijelaskan bahwa globalisasi, yang awalnya bertujuan untuk membuka peluang sebebas-bebasnya agar setiap negara mampu mengembangkan negaranya masing-masing, ternyata tidak membawa dampak positif yang merata bagi semua negara. Perkembangan ilmu pengetahuan  yang memiliki dampak langsung terhadap bidang pengobatan, komunikasi, pertanian hingga industry manufaktur hanya terkonsentrasi pada negara-nagara kaya. Tak heran jika eksklusi dan kesenjangan sosial selalu bersinggungan dengan proses atau minimnya sumberdaya atau akses yang diperoleh oleh suatu kelompok.
            Terdapat empat elemen dalam ketimpangan, yaitu:
1.      Kumpulan posisi, bias dalam pekerjaan, ruang publik, keistimewaan tertentu terhadap sebuah posisi.
2.      Kumpulan dari ketidaksamaan imbalan posisi.
3.      Perbedaan posisi dari mekanisme dan akses yang diperoleh.
4.      Variasi yang berbeda dari setiap individu
Dari beberapa pemaparan yang ada di atas, timbul beberapa pertanyaan:
1.      Eksklusi sering dikaitkan ketimpangan oleh kelompok masyarakat kecil, yang minim akses. Apakah eksklusi sendiri juga mencakup masyarakat kelas atas, yang aksesnya terjamin?
2.      Eksklusi pasti menghasilkan konflik. Apakah konflik yang dihasilkan tersebut dapat diselesaikan?

Senin, 27 Juni 2011

Makna Pacaran Beda Agama Antara Anak dan Orang Tua

Bab I
Pendahuluan

I. Latar Belakang Masalah
Setiap orang di seluruh dunia ini pasti memiliki keluarga, baik itu keluarga secara genetika maupun hukum. Setiap orang di seluruh dunia pasti percaya bahwa keluarga memiliki fungsi yang sangat penting bagi setiap anggota di dalamnya. Karena, keluarga merupakan agen sosialisasi utama yang membentuk karakteristik individu-individu di dalamnya, jika sosialisasi yang diberikan oleh keluarga baik maka setiap anggotanya akan baik. Tugas yang berat bagi keluarga adalah memelihara dan menjaga keutuhan keluarga. Tak heran jika keluarga sendiri mempunyai fungsi-fungsi tersendiri dalam menjaga keteraturan di dalamnya. Mac Iver dan Page mengemukakan bahwa keluarga merupakan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara untuk melanggengkan garis keturunan. Segala ketentutan-ketentuan dan kewajiban-kewaijban di dalamnya merupakan tanggung jawab bersama[1]. Jadi keluarga adalah suatu institusi kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang selalu berusaha untuk menjaga dan melindungi setiap individu di dalamnya.
Bagi kebanyakan orang, keluarga merupakan tujuan akhir untuk mendpatkan cinta yang sesungguhnya. Seiring dengan perkembangan zaman, orang-orang mulai berpikir bagaimana cara “membina” keluarga tanpa melalui institusi pernikahan. Karena, pernikahan sendiri merupakan suatu hal yang dianggap sangat sakral oleh kebanyakan orang. Hal yang dianggap sakral pasti akan dipersiapkan dengan sematang-matangnya di jauh hari untuk mencegah kemungkinan buruk di masa yang akan datang. Biasanya banyak orang melakukan beberapa tahapan-tahapan sebelum menuju pernikahan. Salah satunya adalah dengan berpacaran. Pacaran merupakan sebuah konsep “membina” hubungan dengan orang lain yang sering dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat modern. Dengan pacaran, individu berharap dapat lebih mengetahui sifat dan sikap dari pasangannya dalam menentukan hubungan untuk ke depannya. Berbeda hal nya dengan kondisi masyarakat tradisional. Konsep pacaran tidak berlaku bagi kebanyakan mereka. Karena, jika merasa sudah mapan dan mampu untuk membina rumah tangga sebaiknya pasangan harus menikah.
Pacaran merupakan fenomena yang tak lagi aneh yang ada di sekeliling kita. Baik itu tua-muda merasakan indahnya romantika masa muda. Pacaran biasanya lebih identik dengan hubungan yang dilakukan oleh dua orang individu, berbeda jenis kelamin. Tiap-tiap individu juga pasti memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam memaknai pacaran yang sedang dijalaninya. Untuk saat ini orang yang masih menganggap bahwa pacaran merupakan salah satu cara untuk mengenal pasangan yang akan dipilih untuk masa yang akan datang. Akan tetai, tidak tertutup kemungkinan jika ada sebagian orang melakukan pacaran hanya untuk mendapatkan kepuasan sex semata. Jika pada umumnya orang berpacaran secara homogen, yaitu berasal dari agama yang sama. Tidak dapat dipungkiri pacaran berbeda agama juga merupakan fenomena yang wajar yang ada di sekeliling kita. Fenomena pacaran berbeda agama biasanya banyak terjadi di Perguruan Tinggi Negeri, hal ini dikarenakan pergaulan dan wawasan yang lebih luas yang dimiliki oleh tiap-tiap individu dalam menanggapi berbagai perbedaan yang ada di dalam universitas.

II. Permasalahan
Dalam berpacaran, setiap kemungkinan pasti akan terjadi. Setiap individu di dalamnya harus dapat menanggung setiap resiko dari apa yang dialamaninya. Sebagaima yang telah kita ketahui, pacaran beda agama merupakan suatu hal yang masih dianggap “aneh” oleh kebanyakan orang. Bagi setiap pasangan yang melakukan pacaran beda agama, pastinya mereka sudah memikirkan benar-benar keuntungan dan kerugian yang akan mereka alami selama berpacaran. Selain konteks masyarakat, orang tua juga memiliki peranan penting dalam memberikan internalisasi tentang pemahaman berhubungan, terlebih dalam konteks agama. Karena, apabila seseorang berasal dari keluarga yang homogen pasti orang tua akan cenderung mendorong anaknya untuk mencari pasangan yang homogen pula.

III. Pertanyaan Penelitian
  • Apa yang mendorong pasangan yang berbeda agama tersebut berpacaran?
  • Bagaimana peran orang tua dalam menanggapi hubungan pacaran berbeda agama?

IV. Tujuan Penelitian
Dengan adanya pemaknaan yang berbeda-beda tentang pacaran beda bagi orang tua dan anak maka tujuan tulisan ini adalah :
  1. Mengetahui makna dan tujuan pacaran beda agama
  2. Mengetahui sejauh mana peran orang tua dalam menanggapi anaknya yang pacaran beda agama
  3. Mengetahui alasan anak yang berpacaran beda agama
  4. Mengetahui respon anak terhadap tanggapan orang tua mengenai dirinya yang pacaran beda agama

IV. Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yaitu dengan wawancara mendalam terhadap 3 informan. Yaitu 3 orang perempuan dan laki-laki yang sedang berpacaran. Dari kedua informan tersebut ada yang sudah berpacaran dalam waktu yang cukup lama, yaitu diatas 3 tahun. Penelitian ini juga mewawancarai orang yang berpacaran secara homogen.














Bab II
Kerangka Pemikiran

I.     Teori interaksionisme simbolik
Teori interaksionisme simbolik berangkat dari pemikiran George. H. Mead (1934) dan W. I. Thomas (1931)[2]. Ketiga pemikir tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai interaksionisme simbolik. Herbert Blumer salah seorang Sosiolog berkebangsaan Amerika. Dengan mengadopsi banyak pikiran dari George. H. Mead, beliau mencetuskan teori interaksionisme simbolik. Interaksionisme simbolik adalah sebuah teori yang mengatakan bahwa setiap individu berinteraksi di dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya melalui komunikasi verbal, melainkan komunikasi non-verbal seperti gestur tubuh dan lainnya.
Blumer mengangkat tiga landasan penting di dalam membentuk teori interaksionisme simbolik, yaitu:
  • Meaning atau makna
Merupakan landasan dasar yang dimiliki oleh setiap orang dalam bertindak. Mean merupakan pembeda antara manusia dan binatang. Di satu sisi, binatang memiliki otak. Otak yang dimiliki oleh binatang hanya sebatas “instinct”, atau hanya sekedar untuk melangsungkan kebutuhan hidupnya. Berbeda halnya dengan manusia. Manusia diberikan otak tidak hanya digunakan untuk melangsungkan hidupnya saja. Akan tetapi, dengan otak manusia dapat memaknai setiap yang dialaminya.
  • Language atau bahasa
Merupakan landasan dasar kedua yang dikemukakan oleh Blumer. Menurutnya, dengan adanya bahasa setiap orang dapat bertransaksi melalui simbol-simbol. Bahasa merupakan alat transaksi universal yang dimiliki setiap individu. Dengan bahasa, setiap individu dapat memahami dan memaknai setiap kejadian. Bahasa tidak akan dapat berjalan dengan sempurna jika tidak terdapat hubungan timbal balik dari lawan bicara. Oleh karena itu, bahasa sangat diperlukan di dalam kehidupan sosial masyarakat.
  • Thought atau pikiran
Merupakan landasan pemikiran yang terakhir yang diberikan oleh Blumer di dalam prinsip interaksionisme simbolik. Pikiran itu berbasis kepada bahasa, yaitu percakapan mental atau dialog yang memerlukan pengambilan peran atau mengenai sudut pandang yang berbeda terhadap sesuatu. Pikiran merupakan landasan terpenting di dalam interaksionisme simbolik. Karena bahasannya merangkup semua bahasan yang telah tertuang di dalam mean dan language. Setiap orang sebelum melakukan sebuah tindakan pasti akan memikirkan terlebih dahulu tindakan terebut apakah sesuai atau tidak beserta resikonya jika dilakukan kepada orang lain.
Selain Blumer, tokoh interaksionisme simbolik yang terkenal lainnya adalah Peter L. Berger. Menurutnya setiap menusia ketika melakukan kegiatan pasti memiliki makna. Makna merupakan pedoman bertingkah laku yang dihasilkanbersama melalui interaksi. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Max Weber, Emile Durkheim dan teori Interaksionisme Simbolik. Sehingga di dalam karya-karya yang telah dihasilkannya banyak konsep-konsep atau teori-teori dari Max Weber, Emile Durkheim dan teori Interaksionisme Simbolik.
Menurutnya ada 3 hal yang menyebabkan timbulnya makna-makna yang dihadirkan oleh setiap individu, yaitu:
  • Eksternalisasi, yaitu suatu tahap dimana ide atau gagasan dikemukakan oleh seseorang terhadap orang lain.
  • Objektivisasi, ide tersebut mulai diterima oleh masyarakat banyak. Ide yang diterima tersebut menjadi fakta sosial setelah mencapai puncaknya. Fakta sosial diterima apabila terdapat sanksi di dalamnya.
  • Internalisasi, proses dimana nilai, ide dan gagasan mulai diterima individu sehingga muncul realitas. Realitas sendiri terbagi dua, yaitu objektif (fakta sosial) dan subyektif (berada di dalam diri tiap-tia individu).

II. Teori pola asuh anak
Seorang anak dalam perjalanannya menuju dewasa pasti menjalani proses sosialisasi, baik itu yang diberikan oleh keluarga maupun agen sosialisasi lainnya. Bahkan menurut Mead terdapat 3 tahap dalam pengembangan diri manusia, yaitu play stage, game stage dan generalized other. Namun proses sosialisasi itu sendiri tidak dapat berjalan lancar ketika tidak didukung dengan pola asuh yang diberikan oleh orang tua terhadap anak. Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg di dalam Ignatius Besembun). Menurut Bumrind terdapat 3 gaya pola asuh yang dilakukan orang tua terhadap anak, yaitu[3]:
1. Gaya pola asuh otoritarian  (Authoritarian parenting style)
            Pola asuh orang tua yang otoriter adalah orangtua yang memberikan batasan-batasan tertentu dan aturan yang tegas terhadap anaknya, tetapi memiliki komunikasi verbal yang rendah. Pola asuh ini merupakan cara yang membatasi dan bersifat menghukum sehingga anak harus mengikuti petunjuk orangtua dan menghormati pekerjaan dan usaha orangtua. Biasanya pola asuh ini memiliki kontrol yang kuat, sedikit komunikasi, membatasi ruang gerak anak, dan berorientasi pada hukuman fisik maupun verbal agar anak patuh dan taat. Ada ketakutan yang tinggi dalam diri orangtua terhadap anaknya karena adanya pertentangan dalam kemauan dan keinginan.
            Pola asuh orang tua yang otoriter biasanya membuat anak merasa jenuh dan seringkali jengkel terhadap apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Setiap anak pasti menginginkan adanya kebebasan, terlebih mendapatkan kebebasan dari orang tua. Karena selama ini, orang tua merupakan faktor yang paling penting di dalam keluarga dalam menjaga dan mengambil peran-peran yang dimiliki oleh anak. Misalnya di Indonesia, keluarga yang masih menganut sistem kepercayaan dan kultur, atau tradisional, yang kuat pasti tidak memperbolehkan anak perempuannya untuk bepergian di malam hari. Sedangkan si anak sudah berkali-berkali memohon izin kepada orang tuanya agar diperbolehkan untuk keluar malam, bahkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah sangat sulit. Orang tua selalu memberi tanggapan “seperti tidak ada hari besok saja”. Bahkan ada sebagian orang tua yang melarang anaknya dengan memakai cara kekerasan, seperti berkata kasar bahkan sampai dengan memukul. Namun tidak tertutup kemungkinan juga jika di dalam keluarga modern masih menerapkan pola otoriter dalam mengasuh anak. Dapat dilihat dari banyaknya keluarga-keluarga di perkotaan yang banyak melarang anak dalam berbagai kegiatan. Bahkan jika anak tidak mendengarkan kemauan orang tua akan berdampak kekerasan nantinya. Hal ini sering mendorong terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sering terjadi pada masyarakat perkotaan. Kedua kasus di atas dapat dikatakan bahwa di Indonesia pada umumnya masih menganut pola asuh yang otoriter. Karena, orang tua masih sangat membatasi ruang anak dalam hal apapun. Seharusnya orang tua menanyakan terlebih dahulu kepada anak untuk keperluan apa keluar di malam hari. Selanjutnya mereka dapat mendiskusikannya terlebih dahulu.

2. Gaya Pola asuh  permisif   (Permisive parenting style)
            Pola asuh permisif menekankan ekspresi diri dan self regulation anak. Orangtua yang permisif membuat beberapa aturan dan mengijinkan anak-anaknya untuk memonitor kegiatan  mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan biasanya mereka menjelaskan  alasan terlebih dahulu. Orang tua sering berkonsultasi dengan anak tentang keputusan yang diambil sebelum melakukan sesuatu dan jarang menghukum anaknya.
            Pola asuh orang tua permisif bersikap terlalu lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh mereka. Mungkin karena orang tua sangat sayang (over affection) terhadap anak, atau mungkin orangtua kurang dalam pengetahuannya terhadap pola asuh yang baik terhadap anak. Pola asuh demikian ditandai dengan nurturance yang tinggi, namun rendah dalam tuntutan kedewasaan, kontrol dan komunikasi. Pola ini juga cenderung membebaskan anak tanpa batas, tidak mengendalikan anak, lemah dalam keteraturan hidup, dan tidak memberikan hukuman apabila anak melakukan kesalahan. Selanjutnya pola permisif ini tidak memiliki standar bagi perilaku anak, serta hanya memberikan sedikit perhatian dalam  membina kemandirian dan kepercayaan diri anak.
            Pola permisif cenderung dilakukan di masyarakat yang modern, namun tidak tertutup kemungkinan terdapat di masyarakat tradisional. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa pola permisif cenderung memberi kebebasan anak dalam melakukan segala sesuatu, bahkan ketika anak melakukan suatu kesalahan orang tua cenderung akan membiarkan kesalahan anaknya. Sebagai contoh, di dalam keluarga yang modern, seperti Amerika, orang tua terlihat tidak terlalu memiliki peranan penting di dalam menjaga kehidupan anak. Orang tua hanya berperan kepada anak dari anak masih balita hingga menjelang remaja. Biasanya power orang tua dalam menjaga anak terlihat sangat rendah, pun terkadang orang tua juga cenderung membebaskan anak jika berbuat kesalahan. Biasanya di saat menjelang remaja, pada umur berkisar mulai 14 tahun, anak sudah mulai tidak tinggal menetap dengan orang tua. Anak yang sudah tidak tinggal menetap dengan orang tua cenderung berhadapan dengan kehidupan yang serba bebas, seperti bergaul dengan minum-minuman keras, clubbing bahkan melakukan hubungan di luar nikah dengan perempuan. Itu merupakan suatu hal yang wajar bagi keluarga-keluarga modern. Lain halnya yang terjadi pada keluarga tradisional, perilaku di atas merupakan hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang anak, terlebih ketika usianya remaja. Perilaku seperti yang dicontohkan tadi dapat dilakukan anak ketika anak sudah dewasa. Karena, orang tua sudah tidak mempunyai hak dalam menjaga anaknya lagi.

3. Gaya Pola asuh otoritatif  (Autoritative Parenting style)
            Pola asuh yang bergaya otoritatif mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Adanya sikap orang tua yang hangat dan bersifat membesarkan hati anak, dan komunikasi dua arah yang bebas membuat anak semakin sadar dan bertanggung jawab secara sosial. Hal ini disebabkan karena orang tua dapat merangkul dan mencarikan alasan untuk solusi di masa depan. Sebenarnya pola asuh ini merupakan gabungan dari kedua pola asuh yaitu pola asuh otoritarian dan permisif.
Untuk hal ini Baumrind (1978)[4] menekankan bahwa dalam pengasuhan otoritatif mengandung beberapa prinsip : pertama, kebebasan dan pengendalian merupakan prinsip yang saling mengisi, dan bukan suatu pertentangan. Kedua, hubungan orang tua dengan anak memiliki fungsi bagi orang tua dan anak. Ketiga, adanya kontrol yang diimbangi dengan pemberian dukungan dan semangat. Keempat, adanya tujuan yang ingin dicapai yaitu kemandirian, sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab terhadap lingkungan masyarakat.
Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang netral. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa pola asuh otoritatif merupakan gabungan antara pola asuh otoriter dan pola asuh permisif, dimana pola otoriter cenderung tidak membebaskan anak dalam berperilaku dan pola permisif cenderung sangat membebaskan anak dalam berperilaku. Pola asuh otoritatif merupakan pola otoritatif yang sangat cocok di dalam kehidupan berkeluarga. Karena, baik orang tua maupun anak memiliki komunikasi yang imbang. Komunikasi yang seimbang disini dimaksud bahwa orang tua dan anak melakukan komunikasi dua arah, yakni anak diizinkan untuk melakukan apapun tapi harus berdasarkan hasil diskusi terlebih dahulu dengan orang tua. Sebagai contoh, ada seorang anak laki-laki berumur 12 tahun. Dia baru menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Dia meminta izin kepada orang tuanya akan melanjutkan pendidikannya ke depan di Pondok Pesantren. Orang tua pasti akan menyarankan anaknya untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berada di dekat rumahnya, berhubung usia anak yang masih belum sesuai untuk hidup sendiri. Setelah melakukan diskusi yang cukup matang dengan meyakinkan kedua orang tunya, si anak tetap memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren. Karena Pondok Pesantren merupakan suatu hal yang juga merupakan baik, orang tua akan mempercayakan anaknya untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren.

III. Teori pemilihan pasangan
I. Homogami
            Setiap orang pasti menginkan pasangan sebagai pendamping hidup di dalam keluarga. banyak orang mencari pasangan yang sesuai dengan dirinya terlebih dahulu sebelum memutuskan berumah tangga. Banyak hal yang dilakukan oleh banyak orang dalam mencari pasangan. Misalnya, banyak orang yang menggunakan internet untuk mencari jodoh dan banyak juga orang yang berpacaran sebelum melakukan pernikahan. Terdapat beberapa teori di dalam pencarian pasangan, salah satunya adalah homogami. Sebagai salah satu  yang terdapat pada teori dalam pemilihan jodoh, homogami merupakan konsep yang menyatakan bahwa seorang individu cenderung akan memilih pasangan hidup yang sama seperti dirinya sendiri, seperti persamaan etnisit, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, agama, dan nilai-nilai. Teori homogami merupakan teori tertua di dalam pemilihan pasangan namun hingga saat ini masih banyak orang yang menjadikan “kesamaan” sebagai landasan dasar dalam menentukan pasangan hidup, mungkin dikarenakan sebagian besar orang masih mempercayai bahwa pasangan yang berasal dari suku, ras dan agama yang sama dapat mencegah perbedaan-perbedaan sesama antar pasangan.

IV. Konsep pacaran
            Banyak terjadi ambiguitas-ambiguitas di dalam mendefinisikan pacaran. Ada orang yang mengatakan bahwa pacaran adalah suatu usaha mengenali seseorang lainnya sebelum mencapai tahap “kematangan” dalam berhubungan dengan seseorang. Selain itu, ada yang menganggap bahwa pacaran merupakan suatu usaha “melegitimasi” pasangan di dalam berbagai hal, bahkan ada yang menganggap “legitimasi” untuk menguasai tubuh pasangannya. Sedangkan menurut menurut Joshua Harris[5] dalam bukunya i kissed dating goodbye (2003) pacaran memicu kedekatan secara intim tapi bukan pada komitmen, pacaran juga membuat tahap pertemanan terlewati yang sebenarnya merupakan sebuah fondasi untuk hubungan yang stabil, pacaran fokus pada aksi-aksi romantis sehingga hubungan akan bertahan selama perasaan romansa itu bertahan,pacaran juga fokus terhadap menikmati cinta dan romansa untuk nilai rekreatif, yang seringkali menimbulkan hubungan fisik demi cinta,pacaran juga seringkali menghalangi pertemanan pasangan terhadap hubungan lain yang lebih penting dan meninggalkan hubungan pertamanan Tidak mudah untuk menarik sebuah definisi yang cocok dalam pengertian. Namun dari ketiga definisi yang berbeda tersebut dapat ditarik suatu definisi yang cocok mengenai pacaran, yaitu sebagai suatu usaha atau proses yang dilakukan antar pasangan dalam mencoba mengerti, memahami, menyayangi, dan mencintai seseorang yang dianggap “berarti” di dalam kehidupannya. Pacaran tidak berarti harus komitmen untuk menentukan ujung dari hubungan. Yang lebih ditekankan disini adalah sikap kepedulian terhadap orang yang dianggap “berarti di dalam hidupnya.

V. Relevansi teori sosiologi keluarga
            Penulis memilih teori interaksionisme simbolik dan pola asuh anak karena biasanya di dalam proses pemilihan pasangan terutama dengan metode pacaran individu terdapat kecenderungan perbedaan pemaknaan anak dengan orang tua. Biasanya abak  memiliki alasan-alasan tertentu di dalam memilih pacar yang menurutnya sesuai dengan keinginannya. Berbeda halnya dengan pandangan orang tua dalam melihat hubungan pacaran yang dilakukan oleh anaknya, padahal pacaran juga merupakan pengenalan sementara belum tentu menikah. Tetapi orang tua sudah memiliki kriteria-kriteria tertentu di dalam melihat anaknya yang berpacaran. Bahkan jika ada anaknya yang melanggar kriteria-kriteria atau pakem-pakem tertentu yang telah ditetapkan oleh keluarga, anak itu dianggap telah “berdosa”. Disini penulis ingin melihat adakah kesamaan pemaknaan tentang konsep pacaran beda agama antar anak dan orang tua. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa setiap orang memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap suatu kejadian. Bisa jadi suatu yang dianggap seseorang positif berbeda dengan anggapan orang lain.
Banyak orang menganggap bahwa pacaran sebagai usaha serius untuk mencapai hubungan yang sebenarnya. Mereka rela mempertahankan hubungan dengan pasangannya selama mungkin sampai dianggap hubungan mereka itu direstui oleh orang tua. Itu merupakan hal yang wajar yang biasa terjadi dalam fenomena pacaran. Bahkan orang yang berpacaran pun akan nekat “kawin lari” jika hubungannya tidak direstui oleh kedua orang tuanya tersebut. Hal ini biasa terjadi jika orang tuanya terlalu otoriter di dalam mengasuh anak-anaknya. Orang tua sangatlah sensitif terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan keluarga yang bakal dilanjutkan oleh anaknya. oleh karena itu, biasanya orang tua tetap berperan dominan dalam hal ini meskipun anak memiliki makna yang berbeda terhadap pacaran beda agama yang ia jalani.












Bab III
Temuan Lapangan

I.         Deskripsi informan
Informan I (M):
            Informan M adalah seorang mahasiswi jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia. Ia mengaku baru-baru saja mengenal pasangannya. Pasangannya merupakan mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia. Pasangannya merupakan penganut Katolik yang taat. Saat ini dia menjalin hubungan pasangannya selama 4 bulan. Informan M sendiri beragama Islam dan keluarganya merupakan penganut Islam yang taat. Bahkan dia merupakan alumni SMA Swasta Al-Azhar 1. Keluarganya sering memberikan masukan terhadap pemikirannya mengenai pacaran beda agama yang selama ini ia jalani. Bahkan keluarganya menentang keras hubungan pacaran beda agama yang ia lakukan saat ini, apalagi diteruskan ke jenjang pernikahan.
            Menurutnya hubungan pacaran beda agama yang ia jalani saat ini merupakan suatu yang salah. Karena ia telah mengingkari prinsipnya sejak dulu, yaitu “pacaran beda agama”. Ia melakukan pacaran beda agama atas keinginannya sendiri dikarenakan pasangannya terlihat lebih romantis dibandingkan dengan pasangan-pasangan sebelumnya. Ia mengakui bahwa selama ini mendapat larangan yang keras dari kedua orang tuanya. Tetapi ia berani melakukan pacaran beda agama dikarenakan keyakinannya terhadap pasangannya. Bahkan dengan pasangan beda agama, dia menjadi semakin taat terhadap agama yang ia anut saat ini. Ia tidak terlalu fokus terhadap hubungan yang akan dihadapinya untuk masa yang akan datang. Karena menurutnya, ia akan lebih fokus dengan hubungan saat ini yang dapat membangun masa depannya.

Informan II (R):
            Informan R adalah seorang mahasiswi jurusan Sosiologi Universitas Indonesia. Ia telah lama mengenal pasangannya. Ia mengaku sudah berpacaran selama 4 tahun 3 bulan. Saat ini ia berpacaran dengan mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia. Pasangannya merupakan penganut Katolik yang taat. Sebelum berpacaran dengan pasangannya saat ini, ia mengaku juga pernah berpacaran dengan pasangan yang berbeda agama. Informan R sendiri merupakan penganut agama Islam. Keluarganya juga menentang hubungan yang ia lakukan saat ini sama seperti yang dilakukan oleh keluarga M. Namun, peran Ibu terlihat sangat kuat di dalam mempengaruhi hubungannya. Menurutnya, Ibunya yang paling menentang ketika ia berpacaran beda agama dengan pasangannya. Dalam hal ini, Ayah justru cenderung membebaskan dikarenakan Ayahnya merupakan penganut Islam Kejawen. Pembelaan ayah juga didukung oleh keluarga luasnya, yaitu Mbah. Menurutnya, Mbahnya yang juga memiliki kepercayaan Islam Kejawen, tidak mempermasalahkan ia berhubungan dengan agama apapun asalkan berasal dari etnis Jawa.
            Menurutnya pacaran yang saat ini ia lakukan merupakan suatu hal yang wajar di dalam berhubungan. Berhubungan itu tidak harus berasal dari etnis, ras dan agama yang sama. Dengan perbedaan yang dijalaninya saat ini, ia lebih dapat menghargai orang lain dan lebih memperkaya wawasan terhadap segala sesuatu. Ia selalu serius di dalam berhubungan dengan seseorang. Bahkan ia berharap dapat nikah dengan pasangan yang ia jalani saat ini. Akan tetapi, yang dikehendaki olehnya berbeda dengan kehendak Ibunya. Ibunya justru mengatakan “sampai bisa bilang kalimat Syahadat baru boleh nikah”. Meskipun begitu, menurutnya pernikahan hanyalah suatu legalitas semata. Ia akan mempertimbangkan hubungannya dengan pasangannya untuk ke depannya. Ia juga tidak keberatan jika harus pergi ke Bali atau Singapura untuk mendapatkan legalitas pernikahan.

Informan III (A):
            Informan A adalah seorang mahasiswi jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia. Ia mengaku telah lama mengenal pasangannya, semenjak SMA. Pasangannya merupakan mahasiswa . . . di Universitas Indonesia. Pasangannya merupakan penganut agama Katolik yang taat. Ayah dari pasangannya bekerja sebagai guru agama Katolik di salah satu SMA Jakarta. Profesi Ayahnya sebagai guru Agama Katoliklah yang sangat mempengaruhi latar belakang agama pasangannya. Saat ini ia dan pasangannya menjalin hubungan selama 3 tahun. Informan A sendiri beragama Islam dan keluarganya merupakan penganut Islam yang taat. Untuk urusan pacaran atau hubungan yang dilakukan anaknya, Ibu sangat berperan di dalamnya, ayah juga berperan namun tidak sesering Ibu. Menurutnya Ibunya sangat tidak setuju dengan hubungan yang ia lakukan saat ini. Padahal ia sendiri telah menjelaskan bahwa hubungan yang saat ini ia jalani merupakan drama semata, tidak ada keseriusan di dalamnya. Namun ia juga mengakui, ia sendiri terbawa dengan suasana romantika di dalam berhubungan sehingga tidak munafik juga bahwa ia memiliki perasaan terhadap pasangannya.
            Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ia berpacaran dengan pasangannya diawali dengan kesepakatan untuk “mencemburukan” mantan pasangannya dan untuk merubah pandangan pribadinya terhadap cowok, ia sendiri mengakui bahwa dirinya sangat tertutup dengan cowok. Menurutnya ia tidak akan berjalan hingga ke jenjang pernikahan dengan pasangannya saat ini, dikarenakan perbedaan agama tersebut. Namun ia mengakui bahwa di satu sisi ia ingin melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan pasangannya.

II.      Analisa
Pacaran menurut sebagian orang merupakan sebuah bentuk komitmen yang lebih serius dari pertemanan dengan konsekuensi hak dan kewajiban yang bersifat mengikat kedua belah pihak[6]. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, kebanyakan orang beranggapan bahwa pacaran merupakan suatu jalan yang dilakukan sebelum menuju tahap pernikahan[7]. Setiap aturan-aturan yang terdapat di dalam pacaran bukan merupakan aturan baku yang memang sudah ada sejak dulu. Aturan-aturan yang terdapat di dalam pacaran merupakan hasil konstruksi yang disepakati antar dua pasangan yang sedang berhubungan.
Pacaran sering dilakukan oleh pasangan yang cenderung homogen, yaitu yang berasal dari suku, ras dan agama yang sama. Seiring dengan perkembangan rasionalitas yang dimiliki oleh setiap individu, kecenderungan orang berpacaran secara homogen sedikit berkurang. Kini konsep pacaran secara homogen telah berubah ke pacaran secara heterogen, orang sudah mau berpacaran lintas suku, ras dan agama. Pacaran beda agama merupakan fenomena yang wajar yang terjadi di dalam percintaan. Namun hingga saat ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa pacaran beda agama itu salah.
Pandangan orang yang berpacaran beda agama dengan orang yang berpacaran dengan agama yang sama jelas memiliki kontradiktif antara keduanya. Fenomena itu merupakan suatu hal yang wajar. Karena, setiap individu pasti memiliki makna yang berbeda terhadap lingkungan sekitarnya. Sebagaimana teori interaksionisme simbolik menjelaskan bahwa setiap individu memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap setiap gejala yang ia temukan. Setiap individu mempunyai pikiran yang digunakan untuk menentukan apa yang menurutnya benar dan apa yang menurutnya salah. Charles H. Cooley (1902) mengungkapkan bahwa “manusia itu kreatif, punya intens dan tujuan terhadap segala sesuatu yang berada di sekitarnya”[8]. Ke kreatifitasan yang dimiliki oleh setiap individu menghadirkan pemaknaan-pemaknaan yang berbeda terhadap realita yang ada. Oleh karena itu, simbol atau aturan merupakan kesepakatan bersama. Tetapi simbol itu sendiri pakem atau fix, melainkan dapat berubah.
Sebagaimana yang dialami oleh informan M dalam berpacaran dengan pasangannya yang berbeda agama. Menurutnya itu merupakan hal yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.

“nah ini dia. gue sebenernya punya prinsip untuk gak pacaran beda agama, sejujurnya. jadi dari awal gue udah mikir ini kayaknya gak mungkin tapi entah kenapa akhirnya malah jadian. ada saatnya gue kecewa sama diri sendiri udah ngelanggar prinsip, tapi yang jelas gue gak mau ngekhianatin Tuhan gue” (Informan M)

            Hal yang sama juga dirasakan oleh Informan A ketika berpacaran dengan pasangannya yang berbeda agama. Dulunya ia tidak berharap  bakal “lama” menjalin hubungan dengan pasangannya itu.

“nahh emang itu bikin bingung juga sih ya. soalnya jatohnya sama dia ngejalaninnya kayak temen sendiri sih. dulu gue sering banget sakit hati karena dia kan masih terobsesi ama pacarnya yang dulu, mereka sering jalan gitu di belakang gue. gue sih mikirnya yaudalah toh kita beda agama juga, nggak akan lama-lama palingan. tapi ternyata nggak gampang juga ngejalaninnya. kita itu punya perjanjian F, tadinya kita bakal putus kalo kita udah lulus. jadi kita jadian itu semata buat menghabiskan masa-masa SMA, hahaha. nah pas udah lulus, malah satu universitas dan akhirnya tetep bareng..”. (informan A)

            Berbeda halnya dengan yang dirasakan oleh Informan R. Sebelum ia berpacaran dengan pasangannya saat ini, menurutnya ia pernah berpacaran dengan pasangan yang berbeda agama dengannya.

“...Dulu pas sma gue juga pacaran ma orang Katolik juga. Pernah putus karena agama, sempet kapok.Tapi gak tau ya kenapa dapetnya selalu gitu.” (Informan R)

Pemaknaan pacaran berbeda agama itu sendiri merupakan hasil interaksi antar dua orang individu untuk menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Tentu saja di dalamnya terdapat makna-makna yang berbeda di dalam menanggapi suatu hal tertentu. Banyak orang menganggap pacaran berbeda agama merupakan suatu hal yang “tidak wajar”. Hal yang “wajar” adalah berpacaran dengan agama yang sama. Mengacu kepada interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Berger bahwa sesungguhnya di dalam diri setiap individu terdapat suatu proses di dalam pemunculan makna, namun disini lebih ditekankan kepada proses internalisasi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses internalisasi merupakan proses dimana nilai, ide dan gagasan mulai diterima oleh individu sehingga muncul realitas, yaitu objektif dan subjektif. Dalam fenomena pacaran dengan agama yang berbeda merupakan proses realitas yang bersifat subjektif. Karena, realitas itu sendiri berada di dalam diri tiap-tiap individu.
Sama seperti halnya Informan M dalam menanggapi hubungan berbeda yang ia jalani saat ini. Ia merasa prinsipnya sendiri dikalahkan oleh kepribadian pasangannya yang melakukan dirinya dengan sangat baik. Sehingga mau tidak mau Ia harus yakin dengan hubungan yang dijalani bersama pasangannya saat ini, meskipun mengalami perbedaan agama.
“...nah I, mau secapek, sejauh apapun, pasti mastiin gue bener-bener masuk pintu rumah dengan selamat.” (Informan M)

“...tapi ada satu hari dimana gue mesti ke depok malem-malem, mau liburan ke pulau tidung sama temen-temen gue dan pada ngumpul di depok, ignas lagi di bintaro mau ke depok, akhirnya gue nebeng dia. kita nyampe depok jam 12 malem, dia nemenin gue aja dong jalan kaki dari fakultas teknik ke kutek dalem2 sambil bawain koper gue. dari situ gue mikir "ini orang gentle juga'. gue gak pernah digituin sama cowo soalnya hahahahaha, sedih banget ya gue?” (Informan M)

            Hal yang sama juga dirasakan oleh Informan A. Pada awalnya dia tidak memiliki rasa tertentu terhadap pasangannya. Namun, seiring dengan interaksi-interaksi yang semakin intensif di dalam hubungannya mau tidak mau memaksa perasaan untuk muncul sehingga saat ini dia juga memiliki rasa sayang terhadap pasangannya, meskipun pasangannya sendiri berasal dari agama yang berbeda.
“gue nggak ngeh kalo dia beda agama, nggak kepikiran soal itu F. soalnya gue mikirnya kita jadian juga palingan gak lama, sampe lulus doang. tapi eeh ternyata gak bisa juga ya mikir gitu” (Informan A)

“...soalnya dia uda sayang banget sama gue dan dia tu nggak nyiapin diri buat putus. Sampe-sampe dia terus-terus nyalahin Tuhannya  kayak orang stress, dan gue takut. maybe salah satu alasan kenapa gue nggak bisa ninggalin dia, adalah karena dia uda ketergantungan juga sama gue, serem juga ya? tapi yaa nggak separah itu sih, hehe” (Informan A)
            Lain halnya dengan yang dialami oleh Informan R dalam berhubungan dengan pasangannya yang berbeda agama dengannya. Pacaran berbeda agama merupakan suatu ketertarikan sendiri bagi dirinya. Menurutnya dengan pacaran beda agama wawasannya menjadi lebih kaya dan dapat menjadi lebih humanis.
“Tapi gak tau kenapa slalu tertarik dengan yang beda agama. kalo dibilang keinginan pasti gak lah, Ingin yang lancar. Tapi yang dipikiran dan dikatakan hati beda” (Informan R)

“Dua pandangan yang berbeda, bikin kaya wawasan. mereka jelas punya pandangan yang beda dan gak buat pandangan yang sempit. Pastinya lebih bisa ngehargain perbedaan yang lebih manusiawi lah” (Informan R)

            Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya tentang pacaran menurut Joshua Harris dalam bukunya i kissed dating goodbye (2003), yaitu pacaran juga fokus terhadap menikmati cinta dan romansa untuk nilai rekreatif. Nilai-nilai rekreatif yang dihadirkan oleh tiap-tiap pasangan tentu saja berbeda, terlebih di dalam pasangan berbeda agama. Perbedaan agama dan keyakinan menuntut adanya suatu kreatifitas yang baru agar hubungan yang dijalani tidak terasa datar, seperti pada saat makan bersama baik yang beragaama Islam maupun Katolik sama-sama berdoa menurut agama dan kepercayaan masing, jika pasangannya menunaikan Shalat 5 waktu pasangan yang berbeda agama justru menunggu hingga selesai, dan beberapa contoh lainnya yang tidak dapat disebutkan. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan terhadap kepercayaan dan keyakinan dapat disatukan.
“kami sejauh ini sih berjalan berdampingan. gak ada yang satu menarik yang satunya ke agamanya. pernah pas lagi jalan bareng, dia harus ke gereja, akhirnya gue nemenin. dan dia selalu ngingetin gue buat sholat 5 waktu. dan setiap makan bareng, kami pasti selalu berdoa bareng, dia bikin salib dan gue baca allahumma bariklana fima. doa sebelum makan itu kebiasaan dia banget, gue jadi ketularan. kalo lagi makan gak bareng dia pun akhirnya gue doa sebelum makan dan gue jadi lebih rajin sholat. ironis sih, pacaran beda agama justru bikin gue semakin deket sama Allah. alhamdulillah kami bisa menyikapi perbedaan menjadi sesuatu yang saling melengkapi” (Informan M)

“yang beda palingan gue gak bisa ngajak solat bareng, hehehehe. dan kalo lagi diskusi-diskusi perbedaan yang kentara banget sih semacam "...kaloa di agamaku bla bla" ya kayak gitu. kalo gue lagi dirumahnya juga gue rada takut kalo dikasih makanan macem-macem. tapi untungnya dia dan keluarganya ngerti, misalnya ada makanan yang pake babi, ibunya ngomong "A jangan makan yang ini ya..." gitu” (Informan A)

“Kalo terkait agama. Kita gak pernah mempermasalahkan itu. Perbedaan pasti ada dong. sikap kita aja beda 180 derajat, Tapi justru saling ngelengkapin” (Informan R)

            Dalam berhubungan, dengan siapapun itu, pastinya terdapat konflik baik internal maupun eksternal. Konflik yang bersifat internal yaitu konflik yang terjadi antar internal pasangan, misalnya pertengkaran kecil yang terjadi antar pasangan yang terjadi karena masalah-masalah tertentu, seperti dekat dengan perempuan lain, ingin diperhatikan pasangan dan lain sebagainya. Konflik yang bersifat eksternal yaitu konflik yang terjadi di luar diri individu. Yang menjadi aktor dalam memicu konflik eksternal biasanya adalah orang tua. Konflik yang terjadi pada umumnya dikarenakan orang tua belum tentu menyukai orang yang sedang dekat dengan anaknya. Orang tua biasanya telah memiliki kriteria tertentu jika anaknya menjalin hubungan dengan orang lain, misalnya orang yang dekat dengannya harus beragama katolik, latar belakang orang tuanya bagaimana, dia harus berasal dari suku tertentu, dan sebagainya. Orang tua yang bersikap seperti ini akan cenderung memperbolehkan anaknya menjalin hubungan secara homogen, atau berasal dari suku, ras dan agama yang sama. Pun dalam hal pacaran, setiap orang tua pasti menginginkan pasangan yang terbaik buat anaknya.
            Orang tua pasti sangat protektif kepada anaknya jika anaknya melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan prinsip orang tua. Sikap orang tua yang protektif terdapat di dalam teori pola asuh anak. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, teori pola asuh anak adalah sebuah teori yang melihat bagaimana sikap orang tua dalam merawat dan menjaga anak-anaknya. menurut Bumrind terdapat 3 tipe pola asuh yang biasa dilakukan oleh orang tua, yaitu Gaya pola asuh otoritarian  (Authoritarian parenting style), Gaya Pola asuh  permisif   (Permisive parenting style) dan Gaya Pola asuh otoritatif  (Autoritative Parenting style). Pola asuh ini lah yang akan melihat sikap orang tua dalam menanggapi anaknya yang berpacaran beda agama. Karena, pacaran itu sendiri merupakan akses menuju pernikahan. Jika saat ini anaknya sudah sangat serius berpacaran dengan pasangannya, maka itu akan menentukan pernikahan mereka nantinya.
            Dari penuturan para Informan, ketika mereka melakukan pacaran dengan pasangan yang berbeda agama dengannya maka mereka tidak mendapatkan izin dari orang tuanya.
“Ortu gue secara gak langsung untuk nikah masih agak ragu. Kalo secara personality M mereka suka. Kalo ibu gue bilang “sampe bisa kalimat Syahadat baru nikah”. kalo bokap gue cenderung membebaskan” (Informan R)

“awalnya nyokap-bokap gue tau, terus gue diomelin abis-abisan. bahkan pas dia dateng kerumah gue nyokap gue ngomel-ngomel dan dia sendiri denger. kakak-ade gue sih tau sampe sekarang gue masih pacaran. tapi kalo orang tua gue nganggepnya gue udah biasa aja. walaupun mungkin sampe sekarang nyokap gue masih curigaan terus” (Informan A)

“hmmmm.. gak setuju.” (Informan M)

            Pacaran dengan latar belakang agama memicu konflik antar orang tua dan anak. Padahal anak beranggapan bahwa hubungan yang ia lakukan saat ini merupakan hubungan yang sudah cocok dengan pasangannya. Bukti keseriusan mereka terhadap hubungan yang mereka jalani saat ini adalah menginginkan adanya pernikahan. Namun apa daya, pernikahan hanya sebatas harapan saja. Kembali lagi, orang tua sangat berperan penting di dalam menentukan pasangan anak untuk ke depannya.
“...karena bokap pernah bilang "ayah gak masalah kamu mau pacaran sama orang suku apa, kaya raya apa nggak, kalaupun nanti kamu nikah dan tinggakl di BTN (semacam rumah susun), asal kamu bahagia, ayah juga bahagia. tapi ayah minta satu hal aja: agamanya sama".” (Informan M)

“...sampe kalo misalnya ada di tv infotainment bahas artis yang pacaran beda agama, dibahas-bahas lagi. terus kalo misalnya gue cerita tentang cowok ke nyokap gue atau misalnya jalan di mal ngeliat cowok ganteng, pasti yang pertama dikomentarin nyokap gue, "ya buat apa ganteng-ganteng kalo beda agamanya". jadinya gue bete mulu sama nyokap gue. soalnya nyokap gue tu banyak maunya kalo soal pacar. pengen yang ini-itu lah emangnya pacaran tinggal nunjuk jari apa?” (Informa A)

“...Kalo ibu gue bilang “sampe bisa kalimat Syahadat baru nikah”.” (Informan R)

            Dari beberapa penuturan Informan di atas dapat dikatakan bahwa orang tua akan menjadi otoriter jika anaknya berpacaran secara heterogen, dalam hal ini agama yang berbeda. Orang tua tidak mentolerir perilaku anaknya yang berpacaran beda agama. Pola asuh yang diberikan oleh orang tua dalam hal ini adalah Gaya pola asuh otoritarian  (Authoritarian parenting style). Pola asuh otoritarian adalah pola asuh yang tidak memberikan kebebasan anaknya dalam bertindak. Anak diberi batasan-batasan tertentu sehingga ruang yang dimilikinya sangat terbatas. Dalam hal ini, komunikasi yang terjadi hanya satu arah. Karena, orang tua memberikan seluruh “komando” kepada anaknya melalui pakem-pakem tertentu yang harus dipatuhi sehingga anak tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan segala sesuatu.
            Jika kehidupan seseorang sangat dibatasi oleh suatu ketentuan tertentu maka orang tersebut akan berusaha untuk memberontak sehingga merasa dapat keluar dari ketentuan itu sendiri. Orang tersebut akan cenderung untuk terus melakukannya dan akan terus berusaha untuk berada di dalamnya.
“...padahal kalo misalnya nyokap gue biasa aja, mungkin gue nggak bakal sampe selama ini sama cowok gue itu” (Informan A)
“Serius F. Tapi kalo nikah itu pilihan. sampe sekarang yang ada dikehidupan gue kan dia. Kalo emang harus dia, selalu ada pilihan nanti. Kita serius dan cukup serius untuk memikirkan gimana kedepannya. Mungkin pergi ke singapura, hahha” (Informan R)








Bab IV
Penutup
I.     Kesimpulan
Cinta kasih lebih kuat daripada kematian, dan kematian lebih kuat daripada kehidupan; adalah menyedihkan melihatkan manusia saling tercerai berai (Kahlil Gibran). Ya, cinta lebih kuat daripada segalanya. Apa yang telah diungkapkan oleh Kahlil Gibran berlaku untuk setiap orang. Cinta itu ada dimana-dimana, baik yang kita rasakan maupun yang tidak kita rasakan. Setiap orang pasti membutuhkan cinta. Memang terlihat miris ketika ada seseorang yang berani melakukan apapun demi orang yang dicintainya. Namun, itulah kekuatan cinta.
Sama halnya seperti yang dialami oleh ketiga informan di atas. Mereka mencari tau makna cinta sebenarnya melalui pacaran. Pacaran dianggap merupakan suatu cara yang efektif dalam melihat pasangan sebelum menuju ke jenjang pernikahan. Dengan berpacaran mereka dapat mengetahui baik atau tidaknya berhubungan dengan seseorang. Akan tetapi, pacaran yang mereka lakukan tidak sesuai dengan “makna” pacaran di mata masyarakat pada umumnya. Mereka melakukan pacaran beda agama. Pacaran dengan latar belakang agama yang berbeda masih dianggap suatu hal tidak wajar pada masyarakat, meskipun banyak juga yang menganggap itu merupakan fenomena yang wajar dan biasa. Namun, pacaran yang dilakukan itu berdasarkan keinginan pribadi. Mereka tidak mempermasalahkan soal pandangan yang berbeda dari orang-orang lainnya. Justru dengan pacaran yang mereka lakukan saat ini membuat mereka semakin berpandangan luas, humanis dan lebih dekat kepada Tuhan.
 Perdebatan pemaknaan terhadap pacaran pun mulai mereka alami ketika pacaran mereka berada di dalam ranah keluarga. Orang tua merupakan faktor utama dalam menentukan pasangan. Orang tua merasa tidak suka jika anaknya memiliki pacar yang berbeda latar belakang keagamaannya. Orang tua lebih suka ketika anaknya berpacaran dengan pasangan yang berasal dari latar belakang agama yang sama. Orang tua yang seperti ini memiliki pola otoriter dalam mengasuh anak-anaknya. karena, anak-anaknya tidak diperbolehkan berpacaran sesuai dengan kriteria yang ia senangi melainkan harus berdasarkan peraturan-peraturan tertentu yang telah diterapkan oleh orang tua. Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak yang seperti ini membuat anak merasa jenuh. Akibat dari kejenuhan yang mereka alami, mereka akan terus menjalani kehidupannya seperti yang dirasakan saat ini atau bahkan berani untuk mengambil tindakan yang lebih nekat lainnya.

II.  Saran
Pacaran merupakan hal yang umum yang sering kita temui saat ini. Namun di lain sisi, pemaknaan orang terhadap pacaran itu sendiri berbeda-berbeda sehingga sebagian orang ada yang melakukan pacaran beda agama. Orang tua yang mengetahui anaknya yang berpacaran beda agama tidak seharusnya bertindak otoriter. Karena, anak sama halnya seperti manusia lainnya, yaitu ingin merasakan cinta, meski cinta yang ia dapatkan itu salah menurut orang tuanya. Jika orang tua terlalu mengekang anak, maka emosional anak akan memberontak sehingga dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan sebelumnya.
Ketika orang tua mengetahui anaknya pacaran beda agama seharusnya didiskusikan terlebih dahulu, jangan langsung berkata-kata kasar. Sebagaimana halnya yang telah dijelaskan di dalam Pola asuh yang bergaya otoritatif yang mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Adanya sikap orang tua yang hangat dan bersifat membesarkan hati anak, dan komunikasi dua arah yang bebas membuat anak semakin sadar dan bertanggung jawab secara sosial sehingga membuat anak lebih dewasa dalam menanggapi suatu hal.




[1] H., Drs. Khairuddin, Sosiologi Keluarga, 1985, (Yogyakarta: Nurcahaya), hal. 12

[2] http://family.jrank.org/pages/1679/Symbolic-Interactionism.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2011, pukul 20:15
[3] Baumrind, D. (197 l). Current patterns of parental authority. Developmental Psychology Monograph, 4 (1, Pt. 2).

[4] Baumrind, D. (1978). Parental disciplinary patterns and social competence in children. Youth and Society, 9, 239-276.

[5] C. Mega. Indah, Makna dan Tujuan Pacaran Sebagai Salah Satu Cara Mencari Jodoh Bagi Generasi Muda, tugas akhir MK Sosiologi Keluarga, tahun 2008, hal. 8. Ia membahas mengenai makna pacaran yang dilakukan oleh kebanyakan muda-mudi pada umumnya. Dalam makalahnya ia mengemukakan bahwa pacaran sebagai usaha rekreatif yang dilakukan setiap pasangan.
[6] Pandangan Sharfinamilla terhadap konsep pacaran yang didiskusikan melalui Facebook pada tanggal 28 Mei 2011 pukul 23:45
[7] Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian C. Mega. Indah, Makna dan Tujuan Pacaran Sebagai Salah Satu Cara Mencari Jodoh Bagi Generasi Muda, tugas akhir MK Sosiologi Keluarga, tahun 2008, hal. 20, yang menyatakan bahwa pacaran merupakan salah satu upaya seseorang dalam mencari jodoh didalamnya terdapat upaya saling mengenal lebih dalam untuk mengetahui kecocokan masing-masing pasangan
[8] Catatan MK Tesos I 24 November 2010 mengenai Interaksionisme Simbolik yang dijelaskan oleh Drs. Ganda Upaya