Warga
negara, politik dan hak-hak sosial yang dibuat oleh elemen-elemen yang berbeda
dari hak dan kewahiban warga di zaman modern telah menjadi ‘urutan cerita
luka’, atau ‘wound into a single thread’,
di bawah konstitusi feodal. Percampuran hak-hak kaum feodal merefleksikan
kohabitasi di dalam masyarakat dan fungsi politik di dalam institusi yang
bersifat feodal (Marshall, 1950:72). Dari pemaparan yang dijelaskan oleh
Marshall, di zaman yang bersifat feodal seperti saat ini hak-hak warga negara,
politik dan hak sosial lainnya tidak lagi dipertahankan oleh negara. Kini
negara hanya menjadi ‘watchdog’,
pengamat, di negeri nya sendiri. Mengapa hal tersebut terjadi? Karena, banyak
dari kaum feodal masuk ke dalam sistem negara. Sistem negara yang seharusnya
berpihak kepada orang banyak, justru terdapat konflik kepentingan antar
kelompok berkuasa di dalamnya.
i.
Sebelum
berbicara lebih jauh mengenai warga negara, alangkah baiknya kita memahami
pengertiannya terlebih dahulu. Warga negara dapat dikarakteristikkan sebagai
seperangkat status dan hak. Pertemuan antara status dan hak tidaklah terjadi
secara kebetulan. Pertemuan tersebut akan terlihat ketika terjadi kepentingan
politik yang diperoleh dari status secara sosial.
Dalam
hal yang paling umum hak merupakan sesuatu yang sangat penting, karena mereka
melekat di dalam diri seseorang baik itu secara legal maupun status ‘conventional’. Karenanya, seseorang
seharusnya memiliki kapabilitas maupun kesempatan di dalam beraksi – kekuatan –
sebagai konsekuesi dari status yang mereka miliki. Status seseorang menunjukkan
apa yang dapat dilakukannya, dan kemampuan apa yang dimilikinya.
Status
yang dimiliki oleh seseorang sangat berpengaruh di dalam kehidupannya
sehari-hari. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa setiap orang
memiliki status, baik itu yang disahkan secara legal, maupun secara
kharismatik. Dalam berinteraksi dengan sesama, orang akan terlebih dahulu
melihat dengan siapa dia berinteraksi, topik apa yang harus dibicarakan dengan
orang yang memiliki karakteristik tertentu, sikap yang bagaimana yang harus
ditunjukkan saat berhadapan dengan seseorang, dan beberapa contoh lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa setiap individu, sebelum melakukan interaksi dengan yang
lainnya, akan melihat status yang dimiliki oleh ‘lawan’nya terlebih dahulu.
Hal
ini juga terjadi di dalam sistem hukum. Status yang dimiliki seseorang juga
menentukan konsekuensi apa yang akan didapatkannya di dalam sistem hukum, atau
bahkan memanipulasi hukum. Sistem hukum sering dimanipulasi oleh orang-orang
yang memiliki kapabilitas status yang lebih tinggi, sehingga status mereka
sangat berpengaruh di dalam hukum. Suatu hal yang memang sangat menarik di
dalam kacamata dunia, dimana orang yang memiliki status tinggi dapat mengatur
sistem hukum yang telah ditetapkan oleh hukum legal. Ini merupakan salah satu
contoh konkrit dari fenomena sosial yang melihat aspek status di dalam hukum
legal.
Status,
ditekankan kepada fakta yang merupakan ekspektasi (sesuatu yang bersifat
nofmatif) yang ada di dalam kelompok sosial (Marshall, 1954: 203). Tindakan
sosial seseorang dapat ditentukan oleh status yang mereka miliki, apa yang
boleh mereka kerjakan dan apa yang tidak boleh mereka kerjakan. Ekspektasi
normatif dari status tidak hanya bertahan tetapi juga sebagai ‘cermin’ dari hak
dan kapasitas yang terlekat di dalam diri seseorang. Yang dimaksud dengan ‘cermin’ disini adalah status
yang dimiliki dapat menentukan perilaku apa yang dapat ia lakukan, sama halnya
dengan perilaku yang akan dilakukan oleh seseorang harus ditentukan dengan
status yang ia miliki pula.
Hak
dapat diartikan sebagai batasan – batasan alamiah dari aturan sosial. Marshall
(1950:111) menambahkan bahwa hak adalah ketetapan – ketetapan minimal dari
kemampuan dan pemberian hak secara sosial.
ii
Bryan Turner (1986: 11, 100),
percaya bahwa hukum hewan memodifikasi hukum alam kewarganegaraan. Marshall
(1950: 81) di sisi lain para demonstran memberikan hak-hak bagi orang – orang yang ter’eksklusi’
dari status kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan membatasi otoritas tertinggi
negara. H. R. G. Greaves (1966: 185) mengatakan bahwa hak kewarganeraan sebaiknya
menjadi tanggung jawab kepada setiap anggotanya.
Negara merupakan aktor yang memiliki
fungsi menjaga dan bertanggung jawab terhadap hak – hak warga negaranya. Warga
negara tidak memiliki kewenangan atau kekuatan yang besar dalam menjaga hak –
hak yang mereka miliki. Bukti konkrit
negara dalam menjaga dan bertanggung jawab terhadap hak – hak warga negaranya
adalah membuat undang – undang yang pro terhadap kepentingan banyak orang.
Salah satu kepentingan yang harus dimiliki oleh setiap warga negara adalah ‘hak
untuk hidup’. ‘hak untuk hidup’ bagi setiap warga tertuang di salah satu pasal
di dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa
setiap orang miskin, anak jalanan, dan lainnya, ditanggung oleh negara, dan
masih banyak pasal – pasal lainnya yang mengandung isi untuk menjaga warga
negaranya.
Hak – hak yang harus dimiliki oleh
setiap warga tidak hanya hak properti dan hak perjanjian, melainkan juga hak
untuk bebas berpikir atau berpendapat, hak untuk bebas berbicara, hak untuk
bebas beragama, dan hak untuk berkumpul dan berasosiasi dengan sesama. Sama
halnya dengan beberapa macam kebebasan yang didefinisikan oleh Rosevelt, yaitu
kebebasan untuk berpikir, bebas dari rasa lapar, bebas beragama dan bebas
berbicara. Beberapa macam hak yang dikemukakan di atas merupakan hak wajib yang
harus dimiliki oleh setiap orang. Seseorang dapat dikatakan belum merdeka jika
salah satu hak mereka masih belum dapat terpenuhi. Sebagai contoh, anak jalanan
yang sering ngamen di sepanjang jalan belum merdeka jika hak nya untuk
mendapatkan pendidikan belum tercapai. Namun, hal ini sungguh sulit diterapkan
di dalam sistem kenegaraan, dalam
lingkup yang lebih luas. Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah, bagaimana
negara dapat menjamin hak dari seluruh warganegaranya?
Sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya, bahwa setiap orang wajib mendapatkan haknya, yakni hak untuk hidup,
hak untuk bebas beragama, hak untuk bebas berbicara, dan hak untuk bebas
berpikir. Dari keempat hak tersebut, hak yang paling mendasar yang wajib
dimiliki oleh setiap orang adalah hak untuk hidup. Kembali ke pertanyaan di
atas, bagaimana negara dapat menjamin hak dari seluruh warganya? Dalam hal ini,
negara membuat sebuah sistem dimana setiap orang yang memiliki penghasilan
wajib menyisihkan sebagian penghasilan tersebut kepada negara. Sistem tersebut
adalah pajak. Negara mengatur pajak setiap warga negaranya, dengan tujuan
membedakan pajak yang dikeluarkan oleh seseorang tergantung kemampuan
ekonominya. Pajak yang telah terkumpul nantinya akan didistribusikan untuk
kepentingan banyak orang, baik itu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga bagi
orang yang tidak mampu, atau membangun infrastruktur dan sarana bagi warga,
serta memberikan bantuan – bantuan lainnya dengan tujuan mensejahterkan setiap
warganya.
Marshall (1950: 87) mengatakan
bahwa, ‘civil rights were essential to a competitive market economy because
they gave to each person ‘the power to engage as an independent unit in the
economics struggle’ is followed by his
observation that for this reason civil rights ‘made it possible to deny social
protection on the ground that [a person] was equipped with the means to protect
himself’. Apa yang dipaparkan oleh Marshall terjadi pada kehidupan saat ini,
dimana setiap orang harus memiliki ‘kekuatan’ untuk berjuang mempertahankan
ekonomi mereka, yang merupakan hak – hak warga sipil, yang artinya berjuang
untuk melindungi diri mereka.
iii
terdapat banyak kompleksitas dalam
membicarakan hubungan antara elemen – elemen dari ‘citizenship’ di dalam
diskusi mengenai hak atau kewajiban industri. Seringkali terjadi pergesekan –
pergesekan antara pekerja dan industri dalam hal hak dan kewajiban di antara
keduanya. Industri terlihat lebih sering memberikan kebijakan – kebijakan yang
seringkali bertolak belakang dengan keinginan dari para pekerjanya. Marshall
menambahkan bahwa sesungguhnya di dalam hubungan industrial antara pekerja dan
industri terdapat beberapa kepentingan, seperti masyarakat sipil (civil society), politik dan kewajiban
sosial.
Dalam hal ini, negara ini memiliki
fungsi politik, menjadi regulator, dalam menjaga hubungan antara industri dan
pekerjanya. Hak – hak pekerja dituangkan
di dalam Undang – undang Negara. Namun, seringkali industri tidak mengindahkan
hak – hak pekerja, padahal negara sudah me-legalkan aturan tertulis mengenai
hak – hak para pekerja, melalui kebijakan – kebijakan industri. Ketika
kepentingan industri banyak bersinggungan dengan kepentingan pekerja, maka
pekerja biasanya akan melakukan perjuangan. perjuangan tersebut dapat terlihat
ketika kaum ‘woking class’ berjuang untuk mempertahankan hak mereka di dalam
industri, yang mana industri merupakan pemegang utama atas hak – hak dari
setiap pekerjanya dalam menentukan upah,
jam kerja, tunjangan kerja, dan lain sebagainya.
Karl
Marx pun turut menyumbangkan pemikiran di dalam hubungan industrial antara
pabrik dengan pekerja. Ia berpendapat bahwa di dalam hubungan industri antara
pemilik dan pekerja, seringkali kaum pekerja dirugikan oleh kaum pemilik –
dalam hal ini kebijakan – kebijakan industri tidak pro terhadap pekerja. Bagi
kaum pekerja yang merasa kebijakan industri sesuai dengan kepentingannya, tidak
menyadari hal tesebut, maka ia tergolong ke dalam ‘class in it self’, sebagaimana yang digambarkan oleh Marx. Namun
berbeda halnya bagi kaum pekerja yang merasa kebijakan industri tersebut tidak
sesuai dengan kepentingannya, menyadari hal tersebut, maka ia tergolong ke
dalam ‘class for it self’,
sebagaimana yang digambarkan oleh Marx pula. Bagi kelompok yang tergolong ke
dalam ‘class for it self’, maka di
antara sesama mereka akan muncul ‘class
consciousness’, kesadaran kelas. Kesadaran kelas terwujud ketika sekelompok
orang melakukan demonstrasi terhadap pemilik pabrik, biasanya para pekerja
melakukan mogok dan lain sebagainya. Hal tersebut menggambarkan bahwa kaum
pekerja menginginkan perundingan dengan pemilik pabrik tersebut. Dari
perundingan tersebut terciptalah ‘collective
bargaining’, perundingan kolektif, dimana dari kedua kubu – antara pemilik
dan pekerja – menyepakati kebijakan -
kebijakan yang tidak berat sebelah, atau merugikan salah satu pihak.
iv
Hubungan antara komponen yang
berbeda di dalam ‘citizenship’
terlihat sangatlah kompleks. ‘civil
rigths’, hak – hak sipil, sangat penting di dalam pondasi ekonomi
kapitalis, tetapi juga menentukan kesempatan bagi para pekerja untuk
menantangnya. Kebijakan industrial mencoba bertentangan hak – hak sipil dan
juga terhadap kepemilikan dan kontrak dengan pekerjanya; tapi di satu sisi
membantu mengatur upah pekerja dan menentukan keamanan di dalam pekerjaan, mereka
juga berfungsi untuk menstabilkan
komoditas pasar dan hubungan industrial. Hubungan logik dari kedua tipe
‘right’ yang berbeda ini adalah mereka memiliki hubungan antara yang satu
dengan lainnya dan merupakan refleksi hubungan sosial di dalam lingkup
masyarakat yang lebih luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar