Jumat, 21 Oktober 2011

Hak dan Kewajiban Warga Negara


Warga negara, politik dan hak-hak sosial yang dibuat oleh elemen-elemen yang berbeda dari hak dan kewahiban warga di zaman modern telah menjadi ‘urutan cerita luka’, atau ‘wound into a single thread’, di bawah konstitusi feodal. Percampuran hak-hak kaum feodal merefleksikan kohabitasi di dalam masyarakat dan fungsi politik di dalam institusi yang bersifat feodal (Marshall, 1950:72). Dari pemaparan yang dijelaskan oleh Marshall, di zaman yang bersifat feodal seperti saat ini hak-hak warga negara, politik dan hak sosial lainnya tidak lagi dipertahankan oleh negara. Kini negara hanya menjadi ‘watchdog’, pengamat, di negeri nya sendiri. Mengapa hal tersebut terjadi? Karena, banyak dari kaum feodal masuk ke dalam sistem negara. Sistem negara yang seharusnya berpihak kepada orang banyak, justru terdapat konflik kepentingan antar kelompok berkuasa di dalamnya.
i.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai warga negara, alangkah baiknya kita memahami pengertiannya terlebih dahulu. Warga negara dapat dikarakteristikkan sebagai seperangkat status dan hak. Pertemuan antara status dan hak tidaklah terjadi secara kebetulan. Pertemuan tersebut akan terlihat ketika terjadi kepentingan politik yang diperoleh dari status secara sosial.
Dalam hal yang paling umum hak merupakan sesuatu yang sangat penting, karena mereka melekat di dalam diri seseorang baik itu secara legal maupun status ‘conventional’. Karenanya, seseorang seharusnya memiliki kapabilitas maupun kesempatan di dalam beraksi – kekuatan – sebagai konsekuesi dari status yang mereka miliki. Status seseorang menunjukkan apa yang dapat dilakukannya, dan kemampuan apa yang dimilikinya.
Status yang dimiliki oleh seseorang sangat berpengaruh di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa setiap orang memiliki status, baik itu yang disahkan secara legal, maupun secara kharismatik. Dalam berinteraksi dengan sesama, orang akan terlebih dahulu melihat dengan siapa dia berinteraksi, topik apa yang harus dibicarakan dengan orang yang memiliki karakteristik tertentu, sikap yang bagaimana yang harus ditunjukkan saat berhadapan dengan seseorang, dan beberapa contoh lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu, sebelum melakukan interaksi dengan yang lainnya, akan melihat status yang dimiliki oleh ‘lawan’nya terlebih dahulu.
Hal ini juga terjadi di dalam sistem hukum. Status yang dimiliki seseorang juga menentukan konsekuensi apa yang akan didapatkannya di dalam sistem hukum, atau bahkan memanipulasi hukum. Sistem hukum sering dimanipulasi oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas status yang lebih tinggi, sehingga status mereka sangat berpengaruh di dalam hukum. Suatu hal yang memang sangat menarik di dalam kacamata dunia, dimana orang yang memiliki status tinggi dapat mengatur sistem hukum yang telah ditetapkan oleh hukum legal. Ini merupakan salah satu contoh konkrit dari fenomena sosial yang melihat aspek status di dalam hukum legal.
Status, ditekankan kepada fakta yang merupakan ekspektasi (sesuatu yang bersifat nofmatif) yang ada di dalam kelompok sosial (Marshall, 1954: 203). Tindakan sosial seseorang dapat ditentukan oleh status yang mereka miliki, apa yang boleh mereka kerjakan dan apa yang tidak boleh mereka kerjakan. Ekspektasi normatif dari status tidak hanya bertahan tetapi juga sebagai ‘cermin’ dari hak dan kapasitas yang terlekat di dalam diri seseorang.  Yang dimaksud dengan ‘cermin’ disini adalah status yang dimiliki dapat menentukan perilaku apa yang dapat ia lakukan, sama halnya dengan perilaku yang akan dilakukan oleh seseorang harus ditentukan dengan status yang ia miliki pula.
Hak dapat diartikan sebagai batasan – batasan alamiah dari aturan sosial. Marshall (1950:111) menambahkan bahwa hak adalah ketetapan – ketetapan minimal dari kemampuan dan pemberian hak secara sosial.
ii
            Bryan Turner (1986: 11, 100), percaya bahwa hukum hewan memodifikasi hukum alam kewarganegaraan. Marshall (1950: 81) di sisi lain para demonstran memberikan  hak-hak bagi orang – orang yang ter’eksklusi’ dari status kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan membatasi otoritas tertinggi negara. H. R. G. Greaves (1966: 185) mengatakan bahwa hak kewarganeraan sebaiknya menjadi tanggung jawab kepada setiap anggotanya.
            Negara merupakan aktor yang memiliki fungsi menjaga dan bertanggung jawab terhadap hak – hak warga negaranya. Warga negara tidak memiliki kewenangan atau kekuatan yang besar dalam menjaga hak – hak yang mereka miliki.  Bukti konkrit negara dalam menjaga dan bertanggung jawab terhadap hak – hak warga negaranya adalah membuat undang – undang yang pro terhadap kepentingan banyak orang. Salah satu kepentingan yang harus dimiliki oleh setiap warga negara adalah ‘hak untuk hidup’. ‘hak untuk hidup’ bagi setiap warga tertuang di salah satu pasal di dalam UUD 1945, yang  menyatakan bahwa setiap orang miskin, anak jalanan, dan lainnya, ditanggung oleh negara, dan masih banyak pasal – pasal lainnya yang mengandung isi untuk menjaga warga negaranya.
            Hak – hak yang harus dimiliki oleh setiap warga tidak hanya hak properti dan hak perjanjian, melainkan juga hak untuk bebas berpikir atau berpendapat, hak untuk bebas berbicara, hak untuk bebas beragama, dan hak untuk berkumpul dan berasosiasi dengan sesama. Sama halnya dengan beberapa macam kebebasan yang didefinisikan oleh Rosevelt, yaitu kebebasan untuk berpikir, bebas dari rasa lapar, bebas beragama dan bebas berbicara. Beberapa macam hak yang dikemukakan di atas merupakan hak wajib yang harus dimiliki oleh setiap orang. Seseorang dapat dikatakan belum merdeka jika salah satu hak mereka masih belum dapat terpenuhi. Sebagai contoh, anak jalanan yang sering ngamen di sepanjang jalan belum merdeka jika hak nya untuk mendapatkan pendidikan belum tercapai. Namun, hal ini sungguh sulit diterapkan di dalam sistem  kenegaraan, dalam lingkup yang lebih luas. Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah, bagaimana negara dapat menjamin hak dari seluruh warganegaranya?
            Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa setiap orang wajib mendapatkan haknya, yakni hak untuk hidup, hak untuk bebas beragama, hak untuk bebas berbicara, dan hak untuk bebas berpikir. Dari keempat hak tersebut, hak yang paling mendasar yang wajib dimiliki oleh setiap orang adalah hak untuk hidup. Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana negara dapat menjamin hak dari seluruh warganya? Dalam hal ini, negara membuat sebuah sistem dimana setiap orang yang memiliki penghasilan wajib menyisihkan sebagian penghasilan tersebut kepada negara. Sistem tersebut adalah pajak. Negara mengatur pajak setiap warga negaranya, dengan tujuan membedakan pajak yang dikeluarkan oleh seseorang tergantung kemampuan ekonominya. Pajak yang telah terkumpul nantinya akan didistribusikan untuk kepentingan banyak orang, baik itu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga bagi orang yang tidak mampu, atau membangun infrastruktur dan sarana bagi warga, serta memberikan bantuan – bantuan lainnya dengan tujuan mensejahterkan setiap warganya.
            Marshall (1950: 87) mengatakan bahwa, ‘civil rights were essential to a competitive market economy because they gave to each person ‘the power to engage as an independent unit in the economics struggle’ is  followed by his observation that for this reason civil rights ‘made it possible to deny social protection on the ground that [a person] was equipped with the means to protect himself’. Apa yang dipaparkan oleh Marshall terjadi pada kehidupan saat ini, dimana setiap orang harus memiliki ‘kekuatan’ untuk berjuang mempertahankan ekonomi mereka, yang merupakan hak – hak warga sipil, yang artinya berjuang untuk melindungi diri mereka.
iii
            terdapat banyak kompleksitas dalam membicarakan hubungan antara elemen – elemen dari ‘citizenship’ di dalam diskusi mengenai hak atau kewajiban industri. Seringkali terjadi pergesekan – pergesekan antara pekerja dan industri dalam hal hak dan kewajiban di antara keduanya. Industri terlihat lebih sering memberikan kebijakan – kebijakan yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan dari para pekerjanya. Marshall menambahkan bahwa sesungguhnya di dalam hubungan industrial antara pekerja dan industri terdapat beberapa kepentingan, seperti masyarakat sipil (civil society), politik dan kewajiban sosial.
            Dalam hal ini, negara ini memiliki fungsi politik, menjadi regulator, dalam menjaga hubungan antara industri dan pekerjanya.  Hak – hak pekerja dituangkan di dalam Undang – undang Negara. Namun, seringkali industri tidak mengindahkan hak – hak pekerja, padahal negara sudah me-legalkan aturan tertulis mengenai hak – hak para pekerja, melalui kebijakan – kebijakan industri. Ketika kepentingan industri banyak bersinggungan dengan kepentingan pekerja, maka pekerja biasanya akan melakukan perjuangan. perjuangan tersebut dapat terlihat ketika kaum ‘woking class’ berjuang untuk mempertahankan hak mereka di dalam industri, yang mana industri merupakan pemegang utama atas hak – hak dari setiap pekerjanya dalam  menentukan upah, jam kerja, tunjangan kerja, dan lain sebagainya.
Karl Marx pun turut menyumbangkan pemikiran di dalam hubungan industrial antara pabrik dengan pekerja. Ia berpendapat bahwa di dalam hubungan industri antara pemilik dan pekerja, seringkali kaum pekerja dirugikan oleh kaum pemilik – dalam hal ini kebijakan – kebijakan industri tidak pro terhadap pekerja. Bagi kaum pekerja yang merasa kebijakan industri sesuai dengan kepentingannya, tidak menyadari hal tesebut, maka ia tergolong ke dalam ‘class in it self’, sebagaimana yang digambarkan oleh Marx. Namun berbeda halnya bagi kaum pekerja yang merasa kebijakan industri tersebut tidak sesuai dengan kepentingannya, menyadari hal tersebut, maka ia tergolong ke dalam ‘class for it self’, sebagaimana yang digambarkan oleh Marx pula. Bagi kelompok yang tergolong ke dalam ‘class for it self’, maka di antara sesama mereka akan muncul ‘class consciousness’, kesadaran kelas. Kesadaran kelas terwujud ketika sekelompok orang melakukan demonstrasi terhadap pemilik pabrik, biasanya para pekerja melakukan mogok dan lain sebagainya. Hal tersebut menggambarkan bahwa kaum pekerja menginginkan perundingan dengan pemilik pabrik tersebut. Dari perundingan tersebut terciptalah ‘collective bargaining’, perundingan kolektif, dimana dari kedua kubu – antara pemilik dan pekerja – menyepakati kebijakan -  kebijakan yang tidak berat sebelah, atau merugikan salah satu pihak.
iv
            Hubungan antara komponen yang berbeda di dalam ‘citizenship’ terlihat sangatlah kompleks. ‘civil rigths’, hak – hak sipil, sangat penting di dalam pondasi ekonomi kapitalis, tetapi juga menentukan kesempatan bagi para pekerja untuk menantangnya. Kebijakan industrial mencoba bertentangan hak – hak sipil dan juga terhadap kepemilikan dan kontrak dengan pekerjanya; tapi di satu sisi membantu mengatur upah pekerja dan menentukan keamanan di dalam pekerjaan, mereka juga berfungsi untuk menstabilkan  komoditas pasar dan hubungan industrial. Hubungan logik dari kedua tipe ‘right’ yang berbeda ini adalah mereka memiliki hubungan antara yang satu dengan lainnya dan merupakan refleksi hubungan sosial di dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar