Hingga saat ini, semua kalangan dari berbagai lapisan masyarakat masih menganggap bahwa pendidikan merupakan suatu cara yang paling tepat untuk merubah status sosial yang mereka miliki. Petani miskin mengharapkan jika anaknya mengenyam pendidikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan akan mampu memobilisasi status ekonomi mereka kepada status ekonomi yang lebih tinggi. Begitu pula dengan seorang direktur dari sebuah perusahaan menginginkan anaknya untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, bahkan sampai ke luar negeri sekalipun. Apa yang dimaksud pendidikan sehinga diidam-idamkan oleh banyak orang?
Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan nasional, mengatakan bahwa pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan dan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak sesuai dengan alam dan masyarakatnya[1]. Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat[2].
Dari penjelasan yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara dan merujuk dari undang-undang tentang pendidikan, menunjukkan bahwa pendidikan merupakan sebuah media sosialisasi yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia agar mampu menambahkan tingkat kecerdasan, moral dan akhlak dari tiap-tiap warganya. Setiap warga negara Indonesia wajib mengenyam pendidikan, bahkan Indonesia berani menjamin bahwa setiap warga negaranya berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Bila merujuk pada isi dari undang-undang tentang pendidikan Indonesia, hal ini menjadi ironi bagi negeri ini. Pada prakteknya, undang-undang tersebut hanya menjadi sebuah tulisan belaka tanpa ada kejelasan yang pasti. Hal ini sungguh sangat disayangkan bagi nasib masyarakat-masyarakat yang memiliki ketidak mampuan material dan berada di daerah terpencil. Mereka-mereka yang jauh dari pusat peradaban masih belum dapat merasakan tetesan-tetesan pendidikan, walaupun ada tapi sarana dan prasarana juga tidak mendukung.
Penulis melihat bahwa adanya ketidak merataan pendidikan yang didapatkan oleh setiap warga dari daerah yang berbeda pula. Pemerintah seakan-akan hanya memperhatikan nasib anak bangsa yang berada di dekat pusat pemerintahan dan kurang memperhatikan nasib anak bangsa yang berada di ujung Barat dan Timur Indonesia. Jauh di ujung Barat sana masih banyak anak-anak kecil yang sudah bermata pencaharian, begitupun sebaliknya dengan nasib anak-anak di ujung Timur Indonesia. Sedangkan nasib anak-anak yang berada di pusat pemerintahan memiliki kecukupan lahir dan bathin atas pendidikan yang mereka dapatkan. Semakin dekat pendidikan dengan pusat pemerintahan, semakin dekat pula akses yang didapatkan. Semakin jauh pendidikan dengan pusat pemerintahan, semakin jauh pula akses yang didapatkan.
Selain itu, penulis juga melihat kurangnya anticipatory socialization yang diberikan oleh sistem pendidikan di Indonesia, khususnya perguruan tinggi, Anticipatory socialization adalah sosialisasi persiapan yang mengarah terhadap masa depan. Hal ini terlihat dari tingginya angka pengangguran masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Di tahun 2010 saja, diprediksi angka pengangguran yang ada di Indonesia berkisar dari 8 persen hingga 10 persen[3]. Dari data tersebut, mengindikasikan bahwa sistem pendidikan Indonesia belum tentu menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Terbukti dari banyaknya sarjana-sarjana yang menjadi pengangguran di berbagai daerah di Indonesia.
Dari pemaparan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa permasalahn yang terdapat pada pendidikan di Indonesia adalah kurangnya pemerataan pendidikan yang terdapat di seluruh daerah di Indonesia. Semakin dekat sebuah institusi pendidikan dengan pusat pemerintahan maka semakin mudah akses yang akan didapatkan. Begitu pun sebaliknya jika semakin jauh institusi pendidikan dari pusat pemerintahan maka semakin jauh pula akses yang didapatkan dari institusi pendidikan tersebut. Penulis juga melihat kurangnya participatory socialization yang diberikan dari institusi pendidikan yang ada di Indonesia, khususnya perguruan tinggi. Terlihat dari banyaknya jumlah pengangguran yang semakin bertambah tiap tahunnya. Terlihat bahwa pendidikan belum tentu menjamin seseorang untuk menjadi yang lebih baik untuk ke depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar