Jumat, 25 Maret 2011

Demokratisasi VS Otoritarianisasi di Libya

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia dikejutkan dengan revolusi-revolusi yang bergejolak di Timur Tengah yang terjadi secara beruntun, atau lebih dikenal dengan "domino's effect". Berawal dari revolusi Tunisia dan Mesir, yang menggulingkan masa otoriter Presiden Ben Ali dan Hosni Mobarok, sampai dengan saat ini yang sedang terjadi di Libya, yang ingin menggulingkan rezim Muammar Khadafi. Penduduk di daerah Timur Tengah merasa bahwa keberadaan para pemimipin negara tidak sesuai dengan asas demokratis. Setiap pemimpin negara seharusnya diberi mandat waktu dalam menjalankan amanah sebagai pengatur negara. Tapi justru sebaliknya yang terjadi di negara-negara Timur Tengah, para pemimpin negara merasa dirinya adalah "penguasa" dan "pemilik" segala dari daerah kekuasaannya. Terlebih dengan masa jabatan yang diduduki dalam kurun waktu berpuluh-puluh tahun. Sehingga membuat rakyat gerah dengan pemimpin yang "memperkaya" dirinya sendiri disamping rakyatnya yang semakin miskin.

Sama halnya seperti revolusi yang terjadi di Tunisia dan Mesir, yang "kata"nya ingin menghancurkan rezim otoriter dan menggantinya menjadi lebih demokratis, warga Libya pun saat ini dengan semangat juangnya ingin menjatuhkan rezim Muammar Khadafi yang terkenal dengan otoritarianya. saat ini, rakyat Libya telah hilang kepercayaannya terhadap presidennya itu. karena, selama masa jabatannya yang kurang lebih 40 tahun, kesejahteraan rakyat Libya sendiri belum terjamin, disamping mereka memiliki cadangan minyak sebesar 40% dari cadangan dunia. tak heran jika pada tanggal 17 Februari 2011 yang lalu, rakyat Libya mulai melakukan aksi demonstrasi dan pemberontakan terhadap pemimimpinnya itu.

Menanggapi aksi demonstrasi dan pemoberontakan yang dilakukan oleh rakyatnya tersebut, Khadafi tidak langsung memberikan respon positif terhadap rakyatnya yang ingin revolusi. justru Khadafi melakukan tindak anarkis dengan membunuh para demonstran yang kontra terhadap dirinya. Khadafi, melalui militernya, masih saja melakukan aksi kekerasan dengan membantai siapa saja yang kontra terhadap pemerintahannya dan bahkan mereka berani menghancurkan Masjid yang diduga sebagai sarangnya para demonstran, dengan tujuan melanggengkan masa kekuasaannya untuk ke depannya. Ini merupakan tindak yang sangat bertolak belakang dengan prinsip humanis, dimana setiap individu itu saling hidup harmonis satu dan lainnya. Tak heran jika banyak negara-negara dari berbagai belahan dunia mengecam aksi brutal yang dilakukan oleh Khadafi terhadap warganya. Bahkan Liga Arab, sebagai perkumpulan bangsa-bangsa Arab, pun merasa kecewa dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Khadafi.

Meskipun mendapatkan banyak kecaman dan tudingan-tudingan dari berbagai penjuru dunia, tak membuat Khadafi menyerah secara hormat seperti yang dilakukan oleh Mubarok pada saat melepaskan jabatannya sebagai Presiden pada 11 Februari 2011 yang lalu dengan memberikan kekuasaan terhadap militer. Bahkan, Khadafi pun ingin mencalonkan anaknya, Saif Al-Islam, untuk menjadi presiden Libya ke depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar