I.Upacara Semasa Remaja
Upacara semasa remaja adalah
serangkaian upacara-upacara yang ditujukan kepada anak yang sudah beranjak
dewasa. Biasanya, upacara-upacara yang dilakukan ini bertujuan agar para remaja
memiliki pegangan, ilmu dan agama, jika ia hendak pergi merantau. Upacara
semasa remaja sangat diutamakan bagi anak laki-laki, karena anak laki-laki
merupakan salah satu anggota keluarga yang paling banyak merantau. Upacara
semasa remaja dapat dibedakan sebagai berikut[1]:
a. Manjalang
guru (menemui guru)
Manjalang
guru (menemui guru) adalah kewajiban orang tua untuk mengantarkan anaknya
menemui guru untuk menuntut ilmu, baik itu di bidang agama maupun adat. Anak
atau keponakannya diserahkan untuk dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan
yang diinginkan. Biasanya sebelum anak resmi diserahkan dan dititip di kediaman
guru, anak akan melakukan balimau. Balimau adalah kegiatan mandi yang dibimbing
oleh guru sebagai lambang bahwa anak didiknya dibersihkan lahirnya terlebih
dahulu kemudian diisi batinnya dengan ilmu pengetahuan.
b. Batutue
(bertutur)
Batutue
(bertutur) adalah anak didik mendapatkan pengetahuan dengan cara guru
bercerita. Di dalam cerita terdapat pengajaran adat dan agama, mengaji adat
istiadat. Di dalam pelajaran ini, anak didik mendapat pengetahuan yang
berkaitan dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat.
c. Mangaji
halam jo haram (mengaji halal dan haram)
Mengaji
halam jo haram (mengaji halal dan haram) adalah pengetahuan yang berkaitan
dengan pengajaran agama. Mengaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek
budi nan indah baso, yaitu pengajaran yang berkaitan dengan adat istiadat dan
moral.
Adat
merupakan hukum kebiasaan, aturan sopan santun (tata krama), kesusilaan, dan
rasa kepatutan dalam masyarakat[2],
sedangkan agama merupakan sumber untuk
menemukan asal, hakekat dan tujuan hidup, adat dipergunakan untuk
merealisasikan diri dalam kehidupan, dan budaya adalah sarana untuk mendapatkan
nilai kehidupan di dunia[3].
Dalam
konteks agama dan adat di Minangkabau keduanya terlihat memiliki keterkaitan
antara satu dengan yang lainnya, simbiosis mutualisme. Bagi masyarakat
Minangkabau, agama merupakan suatu pegangan dan panutan bagi masyarakat,
sedangkan adat merupakan penguat sistem yang ada di dalam agama. Bagi sebagian
besar masyarakat Minangkabau, agama yang dianut adalah Islam. Tak heran jika
orang Minang memiliki slogan, ‘adat
basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’, adat bersandar syara’, syara’
bersandar kitabullah (Al-Quran).
Di dalam Islam, merupakan suatu
kewajiban bagi setiap penganutnya untuk menuntut ilmu. Di dalam Islam sendiri,
ilmu adalah pengetahuan yang tersebar di seluruh alam semesta yang mana setiap
umat Islam wajib mencari pemahamannya sendiri untuk membedakan kebaikan dan
keburukan. Kewajiban umat Islam untuk menuntut ilmu pun tertuang di dalam
peribahasa, yaitu ‘uthlabul ‘ilma minal
mahdi ilal lahdi’, tuntutlah ilmu dari mulai dalam buaian hingga ke dalam
liang lahad.
Kewajiban menuntut ilmu pun juga
tertuang di dalam adat masyarakat Minangkabau, yaitu mengadakan upacara semasa
remaja yang bertujuan agar remaja memiliki pegangan ilmu, baik itu ilmu agama
dan adat. Tujuan para remaja menuntut ilmu adalah agar mereka memiliki pegangan
hidup, yaitu ilmu agama dan adat, agar mereka memiliki ilmu ketika mereka
berada di perantauan.
II.Upacara Kematian
Upacara kematian di dalam adat
Minangkabau adalah suatu persembahan terakhir kepada orang yang meninggal.
Upacara kematian tidak hanya menjadi adat di dalam adat Minangkabau melainkan
juga kewajiban bagi seluruh umat Muslim di dunia. Upacara kematian dapat
dibedakan sebagai berikut[4]:
- Memandikan
jenazah
Memandikan jenazah adalah kegiatan yang
melambangkan agar jenazah bersih dari segala hadas, kotoran, dan dosa-dosa yang
dilakukan semasa jenazah hidup.
- Menyolatkan
jenazah
Adalah persembahan shalat terakhir bagi
jenazah yang dilakukan secara berjamaah. Shalat terakhir ini ditujukan kepada
jenazah sebagai wujud kegiatan keagamaan terakhir bagi jenazah.
- Mengantarkan
jenazah ke liang lahat
Ritual ini sama halnya dengan memakamkan
jenazah ke dalam liang lahat, dan disaksikan oleh orang-orang yang
mengantarkannya. Ritual ini juga ditujukan kepada orang-orang yang menyaksikan
prosesi memakamkan jenazah agar yang menyaksikan selalu mengingat kematian.
- Ta’ziah
Pergi melayat (ta’ziah) ke rumah
orang yang meninggal merupakan adat bagi orang Minangkabau. Tidak hanya karena
dianjurkan ajaran Islam, tapi juga karena hubungan kemasyarakatan yang sangat
akrab membuat mereka malu bila tidak datang melayat.
- Peringatan
Selanjutnya ada pula acara peringatan, seperti peringatan tujuh hati (manujuah
hari), peringatan duo puluah satu hari, peringatan hari ke-40, lalu peringatan pada hari
yang ke-100 (manyaratuih hari)[5].
Slogan
‘adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah’, adat bersandar syara’, syara’ bersandar kitabullah (Al-Quran),
selalu menjadi pegangan jika kita berbicara mengenai adat dan agama pada
masyarakat Minang. Adat dan agama seakan tidak dapat terpisahkan bagi sebagian
besar masyarakat Minang, karena keseharian perilaku yang dilakukan oleh
masyarakat Minang pada umumnya sangat berkaitan dengan agama Islam pula.
Menurut
Durkheim, agama merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian
(atau komponen-komponen), yaitu sistem mitos, dogma, ritus, dan seremoni[6].
Selanjutnya Durkheim juga menambahkan bahwa agama merupakan institusi yang
menjaga integrasi dan solidaritas sosial, melalui collective counciousness, kesadaran kolektif, yang juga merupakan
wujud dari religious effervescence,
ritual agama yang sengaja diciptakan agar menciptakan kebersamaan bagi tiap
anggotanya.
Dengan
menggunakan konsep religious
effervescence yang dikemukakan oleh Durkheim, terlihat bahwa masyarakat
Minang menciptakan ritual upacara kepada seseorang yang telah meninggal dunia.
Ritual upacara bagi orang yang telah meninggal dunia merupakan wujud
persembahan orang-orang yang sedang hidup kepada orang yang telah meninggal
dunia. Prosesi upacara kematian dapat terlihat dari beberapa contoh yang telah
dipaparkan di atas. Selanjutnya, dengan adanya ritual yang sengaja diciptakan
tersebut, upacara kematian, maka muncul collective
counciousness, kesadaran kolektif, kepada setiap masyarakat yang ada di
sekelilingnya.
Collective
counciousness dalam prosesi upacara kematian dapat
terlihat ketika pertama kali mayat dimandikan. lalu kesadaran kolektif tersebut
semakin terlihat ketika memasuki prosesi dishalatkannya jenazah, menggotong
jenazah hingga menguburkannya, menyaksikan penguburan jenazah, ta’ziah, serta
peringatan yang diulang di hari ke 40, hari ke 100.
Daftar Referensi:
BUKU:
-
Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan
Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu
-
Bahan Mata Kuliah Sosiologi Agama
tanggal 28 September 2011
-
Prof. Dr. Koentjaraningrat yang berjudul
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
cetakan ke 20, 2004, Jakarta: Djambatan
Internet:
-
http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/2-upacara-adat.html,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.52
-
http://ukm.itb.ac.id/adat-budaya/upacara-upacara-adat-minangkabau/,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.46
[1] http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/2-upacara-adat.html,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.52
[2] Bahan Mata Kuliah Sosiologi
Agama tanggal 28 September 2011
[3] Ibid, bahan MK Sosiologi Agama
tanggal 28 September 2011
[4] http://ukm.itb.ac.id/adat-budaya/upacara-upacara-adat-minangkabau/,
diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 22.46
[5] Namun, di dalam bukunya Prof.
Dr. Koentjaraningrat yang berjudul Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, dikatakan bahwa dulunya peringatan bagi orang
yang sudah meninggal diulang hingga hari ke-1000. Mungkin budaya 1000 hari
tersebut telah terkikis seiring dengan berkembangnya tingkat pemikiran
masyarakat Minang.
[6] Hanneman Samuel, Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan
Bapak Sosiologi Modern, 2010, Depok: Kepik Ungu, hal.73