Tingginya Tingkat Kemiskinan Di Aceh Utara
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tingkat kemiskinan di dunia ini tidak akan dapat dimusnahkan. Akan tetapi tingkat kemiskinan tersebut dapat diminimalisasi sehingga tingginya angka kemiskinan di dalam suatu negara menjadi lebih rendah. kemiskinan itu sendiri memiliki pengertian yang berarti, suatu keadaan dimana rakyat tidak lagi merasakan kesejahteraan mereka, namun yang dirasakan oleh mereka adalah kesengsaraan dan tekanan hidup. Di dalam pengertian, bahwa kesengsaraan yang dimaksud adalah kesengsaraan material. Tingginya tingkat kemiskinan yang berada di dalam suatu negara, melambangkan bahwa keadaan negara tersebut tidak memprioritaskan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Aceh merupakan salah satu penghasil Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi di Indonesia, pada dasarnya PDB yang dihasilkan oleh Aceh merupakan sekian dari banyaknya cadangan minyak dan gas bumi. Namun dengan banyaknya PDB yang dihasilkan oleh Aceh, tidak mampu meminimalisisasi tingkat kemiskinan yang ada di Negeri Serambi Mekah tersebut. Bahkan Aceh memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia lainnya. Aceh juga termasuk salah satu daerah termiskin di Indonesia.
Akan tetapi, semakin tinggi Produk Domestik Bruto yang dihasilkan oleh Aceh, maka semakin sedikit anggaran yang diterima oleh Aceh sendiri. Bahkan berdasarkan perkiraan BPS Aceh Utara tahun 2008 dengan Migas sebesar Rp. 5.962.672.000,81 atau turun 8,40% dari tahun 2007 sedangkan PDB tanpa Migas sebesar Rp. 2.359.663.000,23 atau naik sebesar 3,01% dari tahun sebelumnya[1]. Ini merupakan suatu keadaan yang tidak seimbang antara pengeluaran dengan pendapatan daerah Aceh.
Di dalam artikel ini, saya akan membahas tentang kemiskinan yang ada di Aceh Utara. Aceh Utara merupakan suatu kawasan perindustrian yang memilki banyak perusahaan-perusahaan besar, baik itu BUMN maupun swasta. Perusahaan-perusahaan besar yang terdapat di Aceh Utara seperti, PT Arun merupakan pabrik yang bergerak di bidang gas alam, merupakan penghasil gas alam terbesar di Indonesia, PT PIM (Pupuk Iskandar Muda) yang juga bergerak di bidang gas alam dikarenakan bersebelahan dengan PT Arun, PT Exxon Mobil merupakan pabrik yang bergerak di bidang perminyakan, AAF (ASEAN Aceh Fertilizer) merupakan pabrik yang bergerak di bidang pupuk, dan PT KKA (Pabrik Kertas Kraf Aceh) yang merupakan pabrik kertas.
Jika kita lihat pabrik-pabrik yang ada di di atas, pasti timbul berjuta pertanyaan, mengapa kemiskinan di Aceh Utara tidak dapat diminimalisirkan? Mengapa masih saja kemiskinan lebih dominan terjadi kepada petani, sedangkan penduduk Aceh Utara didominasi oleh petani? Apakah ada usaha-usaha dari perusahaan tersebut untuk membantu kesejahteraan penduduk di Aceh Utara?
Berdasarkan pendataan terkini BPS pada Juli 2009, jumlah angka kemiskinan Aceh Utara kini mencapai 70,73%, berbeda jauh jika dibandingkan dengan kemiskinan di Aceh Utara pada tahun 2006, yaitu 51,96%. Sungguh terjadi peningkatan kemiskinan yang sangat luar biasa. Total kemiskinan sendiri yang tersebar di 27 kecamatan menjadi 79.127 RTM (Rumah Tangga Miskin) dari totalnya 111.871 RTM[2]. Dari hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa program pemerintah Aceh Utara dalam memberantas kemiskinan di Aceh Utara belum berhasil. Yang diharapkan kesejahteraan masyarakatnya, akan tetapi hal sebaliknya yang terjadi.
Yang akan menjadi fokus terhadap kemiskinan yang ada di Aceh Utara adalah, mengapa daerah yang dikenal dengan sebutan “metro dollar” ini tidak mampu menanggulangi kemiskinan, sedangkan di sana terdapat banyak perusahaan-perusahaan besar? Faktor apa saja yang menyebabkan tingginya kemiskinan di Aceh Utara dari tahun ke tahun? Apakah kejadian konflik di Aceh dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan yang ada di Aceh Utara?
Tingkat kemiskinan di Aceh Utara, lebih didominasi oleh penduduk di pedasaan dibandingkan dengan perkotaan. Mereka merasa bahwa campur tangan pemerintah masih sangat jauh untuk daerah mereka. Pemerintah hanya memperhatikan tingkat pertumbuhan pembangunan, kesejahteraan pegawai, dan infrastruktur-infrastruktur lainnya di perkotaan. Sedangkan pedesaan yang merupakan awal terbentuknya perubahan sosial, tidak lagi dihiraukan. Seperti kata pepatah, “seperti kacang yang lupa akan kulitnya”. Begitulah nasib warga pedesaan di Aceh Utara.
Faktor konflik yang terjadi selama 30 tahun di Aceh merupakan salah satu faktor tingginya kemiskinan. Mengapa konflik yang telah lama tersebut menjadi salah satu faktor kemiskinan? Karena sebagian masyarakat di pedesaan masih merasa takut akan terjadinya kekerasan pada saat konflik tersebut. Sehingga mengakibatkan masyarakat pedesaan was-was dan tidak berani beraktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena mereka takut akan terjadinya kembali ancaman-ancaman kekerasan pada masa Darurat Operasi Militer (DOM).
Menurut M. Akmal, dosen Politik Universitas Malikussaleh. Walaupun Aceh merupakan daerah yang kaya akan kekayaan dan hasil alamnya, itu tidak memungkinkan Aceh menjadikan rakyatnya makmur. Dikarenakan pada saat konflik seluruh harta dan kekayaan Aceh sendiri tidak di rasakan oleh para penduduknya. Hal ini disebabkan pemerintahan Orde Baru yang bersifat otoriter dan centralis, semua hasil kekayaan Aceh dibawa ke pusat. Namun dikarenakan pembagian hasil yang tidak merata, hasil alam tersebut tidak dapat dirasakan oleh masyarakat Aceh sendiri. ini akan membawa dampak kemiskinan untuk Aceh sendiri selama 30 tahun ke depan, di mulai dari masa konflik. Terlebih Aceh Utara sendiri merupakan salah satu daerah yang rawan akan peperangan. Akan tetapi, ketika pemerintahan Orde Baru diganti dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau memberikan otonomi khusus daerah bagi Nanggroe Aceh Darussalam. Namun kemiskinan di Aceh akan bisa berkurang jika faktor konflik itu sudah berakhir.
Pemerintah Aceh Utara jarang memberikan mereka dana bantuan sebagai modal usaha, seperti pinjaman rakyat. Dengan pinjaman tersebut, ke depannya diharapkan masyarakat pedesaan bisa jauh lebih mandiri dari sebelumnya. Minimnya akses uang pada pedesaan, membuat masyarakat pedesaan hanya berharap dari hasil bertani mereka. Penduduk desa di Aceh Utara yang pada umumnya lebih didominasi oleh mereka yang bermata pencaharian sebagai petani, Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagai contoh, jika suatu hari padi mereka dihargai sangat rendah, mereka pasti akan merasa enggan menjual padi mereka tersebut, sehingga mereka mau tidak mau harus menjual padi mereka tersebut. Namun, jika mereka tidak menjual padi, maka kebutuhan hidup mereka tidak terpenuhi.
Buruknya pemerintahan dapat menjadi salah satu akibat tingginya kemiskinan di Aceh Utara. Karena pemerintah merupakan suatu lembaga tertinggi yang mengatur suatu daerah. Aceh Utara sendiri dipimpin oleh Bupati, namun kinerja Bupati untuk periode sekarang kurang memuaskan. Sehingga terlihat pada saat periode pemerintahannya, tingkat kemiskinan yang ada di Aceh Utara bertambah pesat. Yang pada tahun 2006 51,96% meningkat menjadi 70,72%[3] pada tahun 2009. Ini merupakan suatu ketidak wajaran di dalam suatu pemerintah. Sedangkan dana APBD di Aceh sangat besar, dan SDA dari Aceh Utara sendiri sangat menggiurkan. Bagaimana mungkin bisa terjadi peningkatan kemiskinan yang begitu besar di Aceh Utara?
Selain itu, hampir semua masyarakat pedesaan masih berpikiran primitif, dikarenakan minimnya faktor pendidikan di kalangan masyarakat pedesaan. Pendidikan masih dianggap sesuatu yang tidak penting bagi mereka, sehingga mereka lebih suka mencari uang daripada belajar. Orang tua merupakan salah satu lembaga terkecil yang seharusnya memberi pendidikan bagi anaknya, namun itu semua hampir tidak terjadi di pedesaan. Karena orang tua pedesaan kebanyakan yang kurang pendidikan. Mereka lebih ingin anaknya membantu mereka bertani daripada bersekolah. Itu membuat SDM yang ada di pedesaan sangat rendah, sehingga mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Terlihat bahwa minimnya persentase untuk bersekolah yang terdapat di daerah pedesaan.
Masyarakat-masyarakat yang hidup di daerah terpencil bahkan jarang dikelola oleh pemerintah, seakan-akan pemerintah hanya mementingkan kehidupan di perkotaan saja. Terlihat dari minimnya infrastuktur-infrastruktur yang mampu membantu kelancaran roda perekonomian di sana. Jadi, apabila ada hasil panen dari suatu daerah di Aceh Utara, maka proses perekonomian tersebut melambat seiring dengan minimnya faktor infrastruktur tersebut. Seharusnya pemerintah berlaku adil dalam melaksanakan tugasnya, baik pedesaan maupun perkotaan sama-sama lancar sarana dan prasaranya. Agar masyarakat pedesaan juga dapat hidup makmur dan sejahtera dengan desa yang mereka miliki. Kebanyakan pemuda desa yang merasa gajinya terlalu kecil bekerja di desa, biasanya akan mencari pekerjaan di kota. Bagaimana dengan desa itu sendiri, siapa yang akan mengurusnya? Tidak mungkin selamanya orang-orang tua desa yang akan menjaganya tentunya.
Pemerintah juga kurang melestarikan suatu daerah yang berpotensi untuk dijadikan objek wisata alam. Padahal dengan dilestarikannya daerah tersebut, dapat membangkitkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Seperti mereka berjualan di areal sekitar daerah objek wisata alam tersebut, otomatis dapat membantu perekonomian masyarakat daerah tersebut. Pemerintah Aceh Utara lebih cenderung membangun gedung-gedung yang yang kemudiannya hanya sebagian yang jadi, atau hasilnya setengah-setengah. Seperti halnya Masjid Islamic Center yang telah dibangun dari tahun 2002 hingga sekarang belum selesai, padahal sangat banyak dana yang dialirkan untuk pembangunan masjid tersebut, termasuk juga dana-dana bantuan dari asing. Ini merupakan suatu hal yang mubazir, lebih baik mereka memberikan dana tersebut untuk membangun rumah dhuafa yang ada di Aceh Utara.
Masyarakat pedesaan juga bersifat homogen, dalam pengertian kesamaan nilai-nilai kebudayaan dan tingkah laku antar sesama penduduk desa. Jadi apabila ada seorang yang bertani, maka warga yang lain juga ingin bertani mengikuti orang pekerjaan orang tersebut. Itu merupakan sesuatu yang tidak efektif, jika semua yang bertani, kemana orang yang berkebun? Kan tidak musti pekerjaan hanya bertani, tetapi masih ada pekerjaan lain yang dapat membantu perekonomian mereka. Dari asas kesamaan itulah yang membuat hampir semua penduduk pedesaan memillki pekerjaan yang sama. Harusnya mereka berfikir bahwa jika semakin banyak yang bertani, maka semakin sedikit untung yang akan mereka dapatkan. Karena semua orang berprofesi sebagai petani.
Jadi, faktor tingginnya kemiskinan di Aceh Utara semakin lama semakin meningkat. Dan mungkin saja kemiskinan di Aceh Utara sendiri akan bertambah untuk depannya. Faktor konflik yang telah terjadi di Aceh sendiri menjadi phobia tersendiri bagi masyarakat pedesaan tersebut, karena kejadian yang sangat biadab tersebut membuat masyarakat merasa was-was untuk bekerja, karena pada umunya daerah pedesaan di Aceh sendiri sangat erat dengan terjadinya konflik yang berkepanjangan tersebut.
Pemerintah Aceh Utara seakan-akan lepas tangan untuk memberikan bantuan modal kepada rakyat pedesaan. Pemerintah sendiri tidak berfikir, bahwa petani-petani tersebut sangat berjasa bagi kebutuhan beras pokok masyarakat luas. Bayangkan pada saat dunia dilanda krisis beras, negara kita tidak merasakan krisis yang dilanda dunia-dunia lainnya. akan tetapi, mengapa upah mereka sangat minim? Mengapa bantuan modal tidak diberikan kepada petani? Coba kita bayangkan, apa yang terjadi jika para petani tidak mau lagi bertani?
Beberapa faktor di atas dapat menjadi sekedar bahan renungan. Aceh Utara merupakan daerah yang kaya akan hasil alamnya, namun tidak dapat merasakan kekayaan daerah sendiri. Infrastruktur yang ada di pedalaman Aceh Utara belum memadai, sehingga petani-petani menjual padinya kepada tengkulak dengan harga rendah. Ini merupakan hal yang sangat disedihkan di daerah “metro dollar” tersebut.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan di Aceh Utara perlu dibuat suatu sistem yang mana dapat diperoleh tidak hanya kaum tinggi, akan tetapi juga kaum rendah. perlunya infrastruktur yang memadai untuk mempermudah jalannya perdagangan dari desa ke kota. Sehingga para petani tidak perlu lagi menjual padinya kepada tengkulak, yang membeli padi mereka dengan harga rendah. Itu merupakan hal yang paling utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh Utara dan daerah Aceh lainnya. karena daerah Aceh khususnya pedalaman, sangat minim infrastruktur yang mendukung terjadinya perdagangan ke pasar daerah, sehingga masyarakat lebih sering menjual padinya kepada tengkulak.
Faktor pendidikan merupakan hal yang paling penting bagi anak-anak pedesaan. Orang tua juga harus mendukung kegiatan belajar sang anak daripada menyuruh anak-anak membantu mereka. Di pedalaman Aceh Utara sendiri, sekolah-sekolah sangat tidak layak untuk disebut sebagai sekolah, mengapa? Karena sekolah yang ada di pedalaman sangat memprihatinkan, gedung-gedung sekolahnya ada yang hampir ambruk, dan ada juga sebagian yang bagus. Secara tidak langsung, dengan keadaan sekolah yang sedemikian rupa membuat orang tua malas menyekolahkan anaknya, jika di kota mereka justru tidak sanggup untuk menyekolahkan anak-anaknya. selain itu, orang tua desa juga minim pendidikan. Maklum saja, pemikiran orang dulu hanya “duit”. Jadi mereka sebagian ada yang menamatkan di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah.
Faktor transparansi kinerja pemerintah juga harus diawasi. Tidak hanya di Aceh saja, namun di semua daerah diperlukan transparansi kinerja dari pemerintah itu sendiri. Jika tidak ada transparansi kinerja dari pemerintah, maka masyarakat yang akan mengalami kerugian akibat tiadanya sistem controlling kepada pemerintah. Pemerintah merupakan unsur pokok yang paling utama dalam menjalankan segala roda kehidupan di dalam ruang lingkup kepemimpinannya. Jadi pemerintahlah yang merupakan pengatur segala aspek di dalam suatu daerah pimpinannya. Di dalamnya sangat diperlukan transparansi kinerja tersebut, agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan pada masa kepemimpinannya tersebut.
Pemerintah juga sebaiknya mencanangkan program dana bantuan yang bersifat mendidik penduduk untuk mandiri. Dalam arti, pemerintah memberi bantuan modal usaha agar para istri petani yang tidak bekerja dapat mengembangkan usaha, yang nantinya dapat membantu perekonomian keluarganya. Itu merupakan suatu langkah kecil yang dapat merubah tingkat kemiskinan di Aceh. Karena pada dasarnya untuk mengubah kemiskinan di suatu daerah butuh jangka waktu yang lama, dan dibutuhkan kerjasama dari semua elemen. Sebagai contoh, jika ada seorang yang mempunyai lumbung padi yang banyak pada suatu desa, sebaiknya ia membantu penduduk sekitar yang kurang mampu. Hal ini dapat mengurangi tingkat kemiskinan, akan tetapi tidak langsung secara keseluruhan.
Mudah-mudahan tingkat kemiskinan di Aceh Utara dan seluruh daerah lainnya di Indonesia dapat teratasi. Karena kita sebagai warga negara Indonesia merasa malu jika Negara kita kaya akan harta, tetapi kita tidak dapat menyicipi harta kita tersebut. Itu semua mudah-mudahan menjadi suatu pelajaran bagi kita warga Indonesia, agar Negara Indonesia kedepannya lebih maju dan kemiskinan juga sudah lebih rendah dari sebelumnya. Karena sangatlah rugi kita sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun kita hanya menjadi penonoton di Negeri kita sendiri. Yang menikmati kesemua hasil kekayaan kita yaitu investor asing yang tujuan utamanya adalah meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
[1] Dikutip dari: http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1200376036925/acehpoverty2008_bh.pdf (12 Okt. 2009)
[2] Dikutip dari: http://www.serambinews.com/news/aceh-utara-rakyat-miskin-di-negeri-kaya (12 Okt. 2009)
[3] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar