Rabu, 27 Oktober 2010

1 Pangkalan Perang, Dibayar Dengan 1 Wilayah-Review Hiroshima



            Hiroshima, sebuah pusat industri militer dan keperluan longistik perang dengan kepadatan demografi terpadat ke-11 pada tahun 1945. Hanya dalam hitungan detik, menjadi kota mati dan menyisakan puing-puing kenangan. Puluhan ribu orang tewas, gedung-gedung berhancuran dan orang yang selamat kebanyakan menjadi lumpuh dan cacat. Kejadian tersebut seakan menjadi sebuah saksi sejarah tentang kedahsyatan dan bahanya bom atom yang  dijatuhkan oleh sekutu Amerika pada 6 Agustus 1945, 08:15 a.m waktu Jepang. sehingga, pagi yang diharapkan indah tersebut menjadi ”neraka”nya bagi orang-orang Jepang pada saat itu. Proses interaksi, proses sosial dan hubungan antar kelompok pun nyaris tidak ada lagi pada saat itu.
            Dimulai dengan kisah Henry Truman, Wakil Presiden Amerika Serikat, ketika menjadi kepala negara, menggantikan pemerintahan Presiden Franklin D. Roosevelt yang telah wafat. Beliau yang mengatur seluruh strategi perang, walau hanya mengetahui sedikit tentang strategi perang yang dikembangkan Amerika. Saat pertemuan pertama dengan para menteri, Truman seakan terbawa oleh pemikiran Menteri Peperangan Amerika. Beliau setuju untuk mengadakan balas dendam terhadap Jepang yang telah menghancurkan pangkalan perang mereka di Pearl Harbour. Padahal, Kepala Penelitian bom atom telah memberikan saran kepada Truman untuk menghentikan tindakan tersebut. Karena, jika weapon of mass destructiontersebut berhasil dilakukakn, maka akan merubah keadaan perang dan keadaan dunia. Namun, pada saat itu Truman di dalam kondisi yang sangat emosional, sehingga keputusan meluncurkan serangan bom atom berdasarkan emosi dan bukan berdasarkan pikiran rasional.
            Akhirnya, pada tanggal 6 Agustus 1945 pesawat Enola Gay yang dipiloti oleh Letkol. Paul W. Tibbet,  membawa bom atom yang bernama The Little Boy. Dengan ketinggian sekitar 31.000 kaki atau 9.450 m, mereka bersiap-siap akan menjatuhkan bom atom tersebut ke kota Hiroshima. Pada pukul 08:15 pagi, Enola Gay berada pada ketinggian 550 m dan berhasil menjatuhkan The Little Boy di Hiroshima. Apakah mereka tidak merasa iba telah membunuh puluhan ribu jiwa manusia di Jepang? Apakah mereka tidak merasa iba melihat anak-anak kecil yang kehilangan orang tuanya, bahkan ada yang meninggal? Apakah mereka tidak merasa iba ketika banyak penduduk Jepang yang cacat akibat terkena radiasi ledakan bom atom? Jawabannya hanya satu, yaitu mereka ingin mengabdi kepada negara.
            "Satu cahaya yang terang memenuhi pesawat," begitu tulis Tibbets. "Kami memutar pesawat kembali untuk melihat Hiroshima. Kota tersebut tersembunyi di balik awan yang mengerikan itu... mendidih, mengembang berbentuk jamur." Setelah itu, beberapa saat tidak ada yang bicara. Namun berikutnya, semua orang bicara. "Lihat itu! Lihat itu! Lihat itu.....! " seru kopilot Robert Lewis sambil memukul bahu Tibbets. Lewis mengatakan ia bisa merasakan pembelahan atom - proses yang terjadi ketika bom atom meledak. Rasanya seperti timah hitam. Ia lalu berbalik untuk menulis dalam catatannya. "Tuhan," tanyanya pada diri sendiri, "Apa yang telah kami lakukan?"[1]Itulah sepenggal percakapan yang terjadi antara pilot Letkol. Paul W. Tibbet dan kopilotnya Robert Lewis setelah bom atom berhasil dijatuhkan.
Analisis penulis adalah bahwa perang tersebut terjadi karena adanya perebutan kekuasaan antara penguasa dengan yang ingin berkuasa. Kelompok yang lebih kuat atau berkuasa punya kesempatan lebih besar dalam membentuk tatanan sosial untuk mempertahankan “Status Quo”. Seperti yang dikemukakan dalam perspektif konfilik, masyarakat adalah tempat bertemunya kelompok-kelompok yang memiliki kebutuhan dan kepentingan sendiri (Individual Self Intersets).[2] Dimana pihak sekutu ingin memperebutkan status Jepang sebagai bangsa penjajah, dan pihak Jepang ingin mempertahankan status mereka sebagai bangsa yang besar. Apabila Jepang mengaku kalah terhadap sekutu, maka harga diri keturunan mereka tidak dapat dibayar dengan apapun, kecuali dengan kematian.
Padahal sebelum menjatuhkan bom atom tersebut, pihak sekutu menawarkan ‘menyerah tanpa syarat’ dalam Deklarasi Potsdam. Namun, pihak militer Jepang menolak mentah-mentah tawaran tersebut, dengan alasan bahwa tekuk lutut tanpa syarat akan merendahkan kehormatan Jepang.Walaupun dalam keadaan hampir kalah dan hanya memiliki sisa peralatan perang seadanya, perang sampai titik darah penghabisan adalah suatu simbol kehormatan yang tertinggi dalam kebudayaan Jepang. Selain itu, Menteri Peperangan Jepang Jenderal Korechika Anami tetap berencana untuk menyebarkan 2 juta pasukan tentara Jepang, serta 10 000 pesawat kamikaze, dalam penyerangan bunuh diri.[3] Kekalahan Jepang hanya dapat diterima Anami setelah bom di Hiroshima dan di Nagasaki telah diledakkan, masing-masing pada tanggal 6 dan 9 Agustus. Awalnya Anami tetap bersikeras bahwa seluruh bangsa Jepang akan merasa termuliakan bila dapat hancur bersama, namun akhirnya ia menyerah saat Kaisar Hirohito meminta militer untuk rela menyerah tanpa syarat, demi menyelamatkan nyawa penduduk Jepang yang masih hidup. Karena Jepang telah menyerah tanpa syarat akibat desakan Kaisar Hitohito, Menteri Peperangan Jepang Jenderal Korechika Anami akhirnya bunuh diri sebagai simbol kemuliaan atas kematian dirinya.
Selain itu, pihak sekutu juga ingin membalaskan dendam mereka terhadap saudara-saudara mereka yang tewas dalam peperangan Pearl Harbour, Hawaii, dimana pangkalan militer Angkatan Laut Amerika Serikat diserang secara tiba-tiba oleh Jepang. Penyerangan secara tiba-tiba ini dilakukan pada 7Desember 1941, pukul 07:55 a.m waktu Hawaii. Hasil serangan ini ialah rusaknya atau tenggelamnya lebih kurang 20 kapal tempur Amerika, 188 pesawat terbang rusak dan 2.403 korban jiwa. Di pihak Jepang sendiri, mereka hanya kehilangan 55 pesawat tempur dari 441 pesawat tempur yang dipakai. Sehingga, rakyat Amerika, media massa dan pemimpin-pemimpin di seluruh dunia merasa marah terhadap Jepang. Sehingga, pada 8 Desember 1941 Presiden Franklin D. Roosevelt menyatakan deklarasi perang dalam U.S. Declaration of War on Japan, sehingga Amerika secara resmi terlibat dalam Perang Dunia ke-2.[4]
Dari pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa perang merupakan suatu tindakan yang banyak membawa kerugian. Dengan adanya perang, siklus kehidupan menjadi terhambat karena adanya tekanan-tekanan dari pihak-pihak luar, sehingga masyarakat tidak berani untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Perang merupakan titik akhir keputusan antara kedua belah pihak jika yang tidak saling mencapai kesepakatan. Antara kedua belah pihak tersebut atau kelompok-kelompok yang lainnya saling ingin memperebutkan kekuasaan pihak lain. Seperti yang dikatakan dalam teori konflik, bahwa terjadinya konflik terjadi karena adanya perebutan kekuasaan antara pihak penguasa dan pihak yang menginginkan kekuasaan. Apabila mereka berhasil memperebutkan daerah kekuasaan pihak lain, mereka seakan mendapatkan prestige yang sangat besar sebagai bangsa yang hebat. Efek psikologis (balas dendam) yang berkepanjangan, efek ekonomi (embargo) dan efek politik akan menjadi bola salju yang semakin mengukuhkan paradigma bahwa peperangan adalah satu-satunya cara untuk menguasai negara lain.
Amerika membumi hanguskan Jepang karena mereka merasa dendam mereka belum terbalaskan pada kejadian Pearl Harbour, dimana para pejuang Amerika tewas dan peralatan militer mereka dihancurkan oleh Jepang. Selain itu, azas penyerangan terhadap Jepang tersebut mutlak tidak berpikir secara rasional. Padahal Kepala Penelitian bom atom telah memberi saran agar membatalkan penyerangannya terhadap Jepang dengan menggunakan bom atom. Karena, akan merubah keadaan perang dunia dan keadaan dunia. Selain itu, Truman juga lebih memilih keputusan Menteri Peperangan agar dilaksanakannya World War II tanpa mendengarkan saran dari berbagai pihak.
Jepang juga memiliki pendirian yang kuat dalam peperangan. Mereka tidak mau kalah tanpa syarat karena menurut kepercayaan adat perang mereka, kalah tanpa syarat merupakan simbol kelemahan. Tak heran jika para tentara Jepang rela bunuh diri dalam peperangan tersebut, seperti melakukan Kamikaze dan Harakiri. Selain itu, Jepang juga menyerahkan pemerintahan penuh kepada perdana menterinya, dan Kaisar hanya sebagai simbol kepala negara. Oleh karena itu, Menteri Peperangan Jepang Jenderal Korechika Anami memiliki andil yang besar dalam peperangan. Sebaiknya, Kaisarlah yang mengatur kebijakan-kebijakan dan mengambil setiap keputusan agar dapat menghentikan sebuah tindakan yang dapat merugikan negara dan tidak terjadinya kerusakan  yang berlebihan di Jepang.




[1]RifkyMedia’sBlog, Kisah Pemboman Hiroshima dan Nagasaki Oleh Amerika, diakses dari http://achtungpanzer.blogspot.com/2009/12/kisah-pemboman-hiroshima-dan-nagasaki.html, pada tanggal 22 Februari 2010, pukul 16:46 WIB.

[2]Kamanto Sunarto, Pengantar Ilmu Sosiologi, (Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004), hal 218.
[3]Jeffrey Porro, Paul Dioty, Carl Kaysen dan Jack Ruina, The Nuclear Age Reader, (New York: Alfred A. Knopf, 1989), hal 18.
[4]American History, Pearl Harbour Attacked, diakses darihttp://www.u-s-history.com/pages/h1649.html, pada tanggal 21 Februari 2010, pukul 11:57 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar